Penolakan Dari Sulteng Terhadap Pilkada Langsung

Palu-Rencana DPR RI mengesahkan UU Pilkada yang antara lain akan mengatur pemilihan kepala daerah lewat DPRD menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat.
Rencana itu memicu reaksi banyak kalangan sampai ke daerah-daerah. Tidak saja politisi, kepala daerah dan akademisi, tetapi juga seniman bahkan kuli bangunan ikut memberikan respons atas rencana partai politik yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih tersebut.
Seorang pelukis di Kota Palu, Endeng Mursalim, pada Senin (15/9) melakukan unjuk rasa tunggal dengan menggelar aksi teatrikal dan melukis di atas kain kafan sepanjang 30 meter sebagai bentuk protes atas rencana tersebut.
Endeng rela berlumuran cat hitam, menggulingkan badan di atas trotoar bahkan memanjat tembok papan nama Sekretariat DPRD Kota Palu dengan telanjang dada. Jari-jari tangannya yang berlumuran cat, ditempelkannya di atas papan nama Sekretariat DPRD hingga meninggalkan tanda lima jari di papan itu.
Endeng kelihatan seperti orang linglung, layaknya masyarakat terpencil masuk di tengah kota. Ia memperhatikan dengan seksama tulisan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang berdiri kokoh di depan Gedung DPRD Kota Palu.
Aksi teatrikal itu menyimbolkan kebingungan warga atas `ancaman` dikembalikannya model demokrasi pemilihan kepala daerah seperti di tempo orde baru.
"Kebebasan Rakyat Dipasung DPRD". Itu salah satu tulisan tangan menggunakan jari berlumur cat hitam yang dituangkan Endeng di atas kain kafan sepanjang 30 meter.
Endeng bahkan mengajak masyarakat luas untuk sama-sama melakukan aksi penolakan dengan caranya sendiri atas rencana DPR mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD.
"Demokrasi kita seret ke belakangan," katanya.
Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Kota Palu Alimuddin Ali Bau, ikut mendukung aksi Endeng Mursalim itu. Pengusaha yang terpilih menjadi anggota DPRD itu bahkan rela merebahkan badannya di atas aspal hanya karena membubuhkan tanda tangan di atas kain 30 meter.
Alimuddin dengan tegas menolak rencana DPR karena itu dianggap sebagai mundurnya demokrasi yang dalam 10 tahun terakhir telah diberikan kepada masyarakat melalui jalan pemilihan langsung baik untuk kepala daerah, presiden maupun calon legislatif.
Menguatkan Oligarki
Pakar ilmu politik dari Universitas Tadulako Palu Dr Darwis mengatakan mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD sama dengan mendelegitimasi kedaulatan rakyat yang selama ini sudah direngkuh dari tangan orde baru.
Alumni Universitas Gadjah Mada itu menilai pemilihan kepala daerah yang hanya melibatkan anggota DPRD hanya akan mengawetkan politik oligarki, dimana kekuasaan hanya dikuasai oleh sekelompok orang tertentu saja.
Pada kondisi demikian, rakyat terancam tidak mendapat perhatian serius karena kepala daerah terpilih lebih takut dengan DPRD dibanding rakyatnya langsung.
Lebih dari itu, Darwis menilai melalui pilkada langsung hubungan emosional pemimpin di daerah akan lebih dekat dengan rakyat dibanding kepala daerah yang dipilih DPRD.
"Hubungan ini bisa terputus dan partisipasi masyarakat akan semakin kecil terhadap proses-proses demokrasi dan pembangunan," katanya.
Darwis menyebut jika pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD sama dengan membuka kembali jalan menuju orde baru.
"Itu kemunduran demokrasi kita," katanya.
Sebetulnya sistem pemilihan kepala daerah di Indonesia saat ini tidak ada masalah tetapi justru itu yang diutak-atik DPR. Mantan Ketua KPU Sulawesi Tengah Adam Malik tidak mengerti dengan sikap DPR tiba-tiba mau merombak lagi model pemilihan yang sudah berjalan lebih dari 10 tahun itu.
Sejumlah alasan sehingga mengharuskan dirombaknya sistem pemilihan kepala daerah, belum bisa meyakinkan Adam Malik sehingga dirinya ikut mengamini rencana tersebut.
Pengajar pada Universitas Tadulako Palu itu melihat rencana tersebut hanyalah keinginan arus politik tertentu yang mendominasi kekuasan politik di DPR dan DPRD sehingga muncul hasrat untuk melegalisasi kembali pemilihan kepala daerah melalui DPRD.
Adam Malik mengakui masih ada beberapa kelemahan dari pemilihan langsung, tetapi bukan berarti mengutak-atik sistem yang sudah berjalan lebih dari 10 tahun itu.
Kekurangan itu mestinya bukan dengan mengubah sistem, tetapi memperbaiki kekurangannya sebab sistem pilkada langsung bukanlah satu-satunya penyebab lahirnya kepala daerah yang bermasalah dengan hukum, politik uang, pemborosan anggaran dan konflik antar pendukung, tetapi ada instrumen lain yang ikut berkontribusi.
Justru kata Adam Malik partai politik mestinya mengaca diri karena banyak pemimpin yang ditawarkan kepada rakyat diproduksi oleh partai politik.
Adam Malik bahkan menghajar ketidaksiapan partai politik dalam menyodorkan calon kepala daerah dalam pilkada langsung sehingga ikut berkontribusi terhadap buruknya hasil pilkada langsung yang belakangan ini dianggap hanya pemborosan anggaran dan menjadi ajang munculnya ladang korupsi baru.
Konsistensi dan Kontekstual
Bupati Morowali Anwar Hafid yang dua kali terpilih menjadi bupati dengan wakil bupati yang sama menganggap penting mempertahankan pilkada langsung.
Ia ingin Indonesia konsisten dengan model demokrasi sesuai dengan konteksnya. Jika selama ini pemilihan presiden, gubernur, bupati/wali kota dan kepala desa dipilih langsung maka harus konsisten dengan model demokrasi itu.
Sebaliknya, jika ingin mengubah salah satunya, maka juga harus konsisten mengubah seluruhnya, sehingga model demokrasi tidak warna-warni.
Berbagai masalah yang terjadi akibat pilkada langsung kata Anwar, sangat tergantung dari calon yang bersangkutan serta pengawasan dari penyelenggara pilkada.
Anwar menampik bahwa pilkada langsung membuat hubungan sejumlah kepala daerah dengan wakilnya renggang. Sebab dirinya membuktikan dua periode, tidak pernah pecah kongsi dengan wakilnya.
Justru, kata Anwar, dengan pilkada langsung tanggungjawab kepala daerah terpilih terhadap rakyatnya lebih besar karena mereka harus melaksanakan amanah rakyat.
"Tanggungjawab kepala daerah terhadap rakyatnya lebih besar jika dipilih langsung oleh rakyat, karena kita takut dengan rakyat. Kita ini lahir dari rakyat," katanya.
Dia khawatir jika nantinya kepala daerah hanya dipilih oleh DPRD maka kepala daerah terpilih hanya takut dengan DPRD.
"Akhirnya nanti bupati/wali kota hanya kerja untuk DPRD," katanya.
Bagaimana dengan masyarakat kecil? Seorang pekerja bangunan di Palu, Parlan mengatakan jika kewenangan pemilihan kepala daerah hanya diserahkan ke DPRD otomatis menjauhkan hubungan emosional masyarakat dengan pemimpinnya.
Bisa jadi mereka yang terpilih bukan yang dikehendaki banyak orang, melainkan kehendak segelintir elit dari penguasa partai politik.
"Kalau sampai pemilihan gubernur dan bupati/wali kota dipilih DPRD, tidak usah lagi kita ikut-ikut kegiatannya partai. Soalnya hanya mereka semua saja yang bisa memilih," kata Parlan.
Sementara itu Sekretaris DPD Partai Demokrat Sulawesi Tengah Talitti Paluge mengatakan dikembalikannya pemilihan kepala daerah ke DPRD karena pilkada langsung sudah liberal. Hasilnya banyak melahirkan pemimpin daerah yang belum siap menjadi pemimpin.
Talitti menilai masyarakat Indonesia belum siap dengan pilkada langsung sehingga banyak hal yang dilakukan oleh calon pemimpin tidak menyentuh langsung kepentingan masyarakat.
"Misalnya, apa hubungan baliho dengan kesejahteraan masyarakat. Itu kan hanya kepentingan calon sendiri," katanya.
Masih ada beberapa dampak negatif yang ditimbulkan dari pilkada langsung antara lain pemborosan anggaran, ancaman konflik antar pendukung dan banyaknya kasus korupsi akibat tingginya biaya politik calon.(antara)