|  | 

Opini

Pesta Bikini dan Wajah Kita

Helmy-Faishal-Zaini
JAKARTA- Dunia pendidikan kita kembali dihebohkan dengan berita tentang rencana pesta bikini bertajuk "splash after class". Pesta yang akan dihelat pada Sabtu (25/4) bertempat di the Media Hotel and Towers Gunung Sahari Raya, Jakarta Pusat, dan akan diikuti 16 Sekolah dengan komposisi 14 sekolah dari Jakarta dan dua sekolah dari bekasi (Tajuk "Usut Pesta Bikini Siswa SMA", Republika 25/4)

Sebagai orang tua sudah sepatutnya kita menitikkan air mata jika mendapati rencana pesta itu akan benar-benar terjadi. Bahkan, hanya berhenti pada tataran konsepsi dan "rencana" atau "ide" pun kita juga masih tetap patut bersedih, sebab kita tahu apa yang sesungguhnya ada di dalam batok kepala anak-anak kita.

Perhelatan pesta itu jika kita tinjau akar permasalahnnya tentu tak semudah membalikkan telapak tangan. Ada banyak faktor dalam "membentuk" watak serta karakter siswa serta peserta didik di sekolah hari ini.

Saya setuju dengan Freidrich Nietsczhe (2008) bahwa education is what you learn from school, from home, and more importantly between school and home. Ruang yang membentang antara rumah dan sekolah adalah lokus utama yang perlu dititikberatkan untuk menanamkan nilai pendidikan sesungguhnya. Pada ruang tersebut, orang tua dan juga guru sering alpa dan tidak bisa hadir mengawal perkembangan pendidikan anak sehari-hari.

Ruang antara rumah dan sekolah adalah tempat berkumpulnya pelbagai kemungkinan pada seorang anak. Beralaskan pergaulan yang "bebas" dan pergulatan sosial yang liar, anak secara tidak langsung akan terbentuk karakternya dari sana. Bahkan, besar kemungkinan karakter anak merupakan bangunan dari hasil pergulatan sosialnya yang terjadi di antara sekolah dan rumah tersebut.

Akar budaya siswa hari ini yang cenderung memilih untuk lebih bersikap hedonistik dalam meluapkan ekspresi dirinya juga menunjukkan jangan-jangan ada yang salah dengan apa yang selama ini kita perlakukan kepada mereka. Bisa saja dan sangat mungkin, ekspresi hedonistik ini terlahir dari serangkaian akumulasi kekecewaan pada perlakuan sehari-hari di sekolah terhadap anak itu sendiri terutama oleh serangkaian sistem sekolah yang cenderung tidak memberi kebebasan dan kemerdekaan.

Perlakuan yang memosisikan murid sebagai benda mati robotik yang siap untuk dicetak sebagaimana yang diharapkan pada sebuah kurikulum disadari atau tidak sesungguhnya sangat membebani murid itu sendiri. Murid, dengan serangkaian kurikulum, menjadi berjarak dengan diri sendiri. Ia terpaksa mengikuti dan berusaha untuk menjadi diri yang diharapkan kurikulum tersebut.

Di sanalah bencana itu kita mulai. Menempatkan murid sebagai benda mati yang siap dicetak sesuai keinginan kita adalah defini petaka sesungguhnya. Pada tataran ini kita patut mendengarkan kembali sindiran halus Kahlil Gibran bahwa anakmu bukanlah anak, ia adalah anak-anak zaman.

Emha Ainun Nadjib (2013) mempunyai pendapat bagus yang patut kita renungkan terkait tumbuh kembang seorang anak ini. Ia mengatakan bahwa seorang anak lahir belum tentu untuk diri sendiri. Sebab, orang tuanya dari hari ke hari ingin "menjadikannya".

Demikianlah, pelakuan kita sebagai orang tua di sekolah maupun di luar sekolah tidak jarang didominasi nafsu keinginan kita terhadap anak-anak kita. Padahal tindakan itu tidak bisa dibenarkan sama sekali. Akibatnya sebagaimana yang kita alami hari ini, anak-anak cenderung meluapkan ekpresi ketertekanannya dengan cara selebrasi yang lebih didominasi aroma balas dendam kepada keadaan yang kian menjauhkan dengan diri pada kenyataannya.

Jarak antara diri seharusnya dengan diri kenyataannya itulah yang menyebabkan pemberontakan. Anak boleh saja terlihat tunduk pada sistem sekolah, tapi jika kita amati, tidak dengan sungguh-sungguh taat dalam arti sebenarnya. Jika ia sudah berada di luar teritori "kekuasaan sekolah", ia akan beranjak dan berusaha menjadi diri sebenarnya.

Besar kemungkinan, itu disebabkan sistem kebudayaan kita yang sampai hari ini tak pernah kunjung beranjak dari kepercayaan "guru mendidik murid". Kebudayaan kita tidak mengenal "murid mendidik guru". Pada kebudayaan pertama, guru adalah subjek, murid adalah objek. Ia bersifat konstan dan stagnan.

Pada struktur kebudayaan kedua, posisi murid dan guru lebih diandaikan sebagai teman sejawat yang egaliter. Guru dan murid tumbuh dalam ruang diskusif yang sangat riuh untuk tumbuh kembang bersama menjalani kehidupan. Struktur kebudayaan kedua ini menawarkan sifat progresif dan dinamik.

Di tengah arus masyarakat kredensial yang lebih mementingkan formalitas sebagaimana dikatakan Rendall Collin (2012), hari ini tantangan terbesar kita menemani tumbuh kembang seorang siswa untuk menjadi diri sendiri yang berkarakter. Pendidikan hari ini harus berorientasi meletakkan karakter sebagai instrumen utama keberhasilan pendidikan.

Sebagaimana dikatakan Debra Mashek (2007), gagalnya pendidikan hari ini karena kegagalan menyinergikan kognisi dan moral peserta didik. Pendidikan hari ini justru cenderung menciptakan jarak terlampau serius antara kognisi dan moralitas peserta didik. Banyak peserta didik yang cerdas dan berpengetahuan luas, tapi di saat bersamaan ia tak memiliki karakter dan moral yang bagus. Ini sungguh sangat menyedihkan.

Akhirnya, sebagaimana yang kita alami, pesta bikini adalah wajah pendidikan kita hari ini.

*Opini Ketua Fraksi PKB A Helmy Faishal Zaini di muat koran harian Republika (Senin, 27 April 2015)

Related Articles

Kata Mutiara

“Keberhasilan seorang pemimpin diukur dari kemampuan mereka dalam menyejahterakan umat yang mereka pimpin” --- Gusdur

A new version of this app is available. Click here to update.