|  | 

Opini

Bonus Demografi, Potensi yang Diabaikan

Oleh: Dr. H. Cucun Ahmad Syamsurijal, S. Ag., M. AP

SEJAK 2012, Indonesia memiliki struktur penduduk yang sangat mendukung dan menguntungkan kinerja perekonomian. Namun ironisnya, Indonesia yang seharusnya sudah mendapatkan keunggulan dan keuntungan dari sektor ketenagakerjaan malah terkesan membuang peluang dan potensi tersebut.

Tahun 2012 seharusnya menjadi tonggak awal kemajuan sumber daya manusia (SDM) karena pada 2012, Indonesia memasuki fase keuntungan demografi. Saat itu, jumlah penduduk usia produktif lebih besar dibanding jumlah penduduk usia tidak produktif atau dikenal dengan istilah Demographic Dividend, dalam istilah bahasa Indonesia biasa disebut Bonus Demografi.

Dari sisi SDM, Indonesia sudah memiliki modal yang sangat besar untuk membangun kinerja perekonomian ke arah jauh lebih baik.

Bonus Demografi bisa menjadi multiplier effect yang sangat besar terhadap kinerja perekonomi Indonesia. Sebagai negara yang sedang berada dalam fase Demographic Dividend, maka seharusnya Indonesia memiliki kesempatan yang cukup besar untuk menjadikan penduduk usia produktif sebagai engine of growth.

Jumlah penduduk Indonesia usia produktif per Agustus 2023 menembus angka 147,71 juta. Jumlah ini dua kali lipat dari jumlah total penduduk Thailand. Dengan jumlah penduduk usia produktif sebanyak itu, seharusnya Indonesia bisa menggerakkan perekonomian jauh melampaui seluruh negara anggota ASEAN.

Selain sebagai modal tenaga kerja, penduduk usia produktif juga menjadi ceruk pasar sangat besar untuk seluruh produk barang dan jasa yang dihasilkan dari proses perekonomian dalam negeri. Namun sayangnya, sejak pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sampai Joko Widodo (Jokowi) tidak pernah menyiapkan secara serius untuk menyambut Bonus Demografi.

Presiden SBY yang menjabat dari 2004 sampai 2014, tidak menyentuh dan membahas masalah Bonus Demografi dalam visi misi pembangunan ekonominya.

Hal yang sama juga terjadi pada periode pemerintahan Presiden Jokowi. Pembangunan pada era Jokowi lebih banyak fokus pada pembangunan infrastruktur fisik, alih-alih membangun SDM Indonesia yang unggul.

Program pembangunan SDM pada periode pemerintahan Jokowi tercecer di banyak kementerian dan tidak fokus. Program-program pembangunan kualitas SDM sangat tidak terarah dan terkesan spontanitas sebagai “penggugur” kewajiban semata.

Padahal program-program pembangunan SDM di era pemerintahan Jokowi sangat besar, namun sayangnya tidak mampu meningkatkan produktivitas dan kualitas SDM Indonesia secara signifikan. Pada akhirnya angka pengangguran, baik terbuka maupun terselubung masih sangat tinggi.

Pedang bermata dua

Bonus Demografi yang saat ini sedang dialami Indonesia ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi memiliki potensi sangat besar bagi perekonomian Indonesia seperti yang dialami oleh Afrika Selatan dan Brasil.

Afrika Selatan dan Brasil bisa menjadi contoh nyata negara yang tidak mampu memanfaatkan Bonus Demografi secara optimal. Kedua negara itu gagal mendapatkan keuntungan dari Bonus Demografi.

Afrika Selatan sampai sekarang masih terjebak sebagai negara dunia ketiga yang belum mampu keluar dari permasalahan kemiskinan yang membelit penduduknya. Sementara Brasil saat ini terjebak dalam midle trap income di mana ketimpangan ekonomi antarmasyarakat masih sangat tinggi, pendapatan masyarakat tidak bisa bertambah, serta tidak bisa keluar dari zona kelompok negara “midle income” untuk kemudian naik ke kelompok negara “high income”.

Banyaknya jumlah penduduk usia produktif membutuhkan sarana penyaluran bagi produktivitas. Tersedianya lapangan pekerjaan yang layak (decent job) menjadi prasyarat utama untuk menjadikan Bonus Demografi berdampak positif bagi perekonomian nasional.

Jika lapangan pekerjaan yang layak tidak cukup tersedia, maka penduduk usia produktif akan menjadi beban tambahan bagi perekonomian dan pada akhirnya akan menjadi bencana kependudukan. Kondisi ini akan diperparah semakin meningkatnya persaingan tenaga kerja seiring dengan semakin terbukanya perekonomian di antara negara anggota ASEAN plus India dan Tiongkok. Semakin terbukanya kerja sama di antara negara-negara tersebut akan semakin mendorong sektor ketenagakerjaan masuk ke dalam mekanisme pasar bebas.

Tenaga kerja terdidik Indonesia akan bersaing secara langsung dengan tenaga kerja dari sembilan negara ASEAN ditambah India dan Tiongkok. Padahal peringkat pembangunan manusia Indonesia masih kalah jauh dibandingkan dengan Singapura, Tiongkok, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand. Dengan kata lain, sangat besar kemungkinan kualitas tenaga kerja terdidik Indonesia masih kalah dibandingkan dengan kelima negara tadi.

Oleh karena itu, jika penduduk usia produktif tidak disiapkan dengan baik, maka mereka hanya akan menjadi penonton di negeri sendiri. Mereka tidak hanya absen dari perannya sebagai engine of growth, namun lebih parahnya akan menjadi faktor penghambat terbesar dalam perkembangan ekonomi Indonesia, alih-alih mewujudkan Indonesia Emas 2045 mendatang.

Berkaca pada kondisi penduduk usia produktif saat ini, seolah-olah mereka menjadi potensi yang diabaikan. Keberadaan mereka seperti dilupakan sehingga potensinya benar-benar terbung percuma. Jika pemerintah serius ingin mewujudkan Indonesia Emas tahun 2045 dan menjadi negara lima besar ekonomi dunia, maka pemerintah harus mulai mengoptimalkan potensi yang terlupakan selama dua periode pemerintahan ini.

Bonus Demografi harus benar-benar dimanfaatkan secara optimal sehingga Indonesia bukan hanya bisa terlepas dari bahaya bencana kependudukan, namun lebih jauh bisa mewujudkan Indonesia Emas, menjadi negara maju, dan termasuk pemain utama dalam perekonomian global.

 

Syaratnya hanya satu, jangan abaikan Bonus Demografi yang saat ini sudah ada di tangan.

Artikel ini telah dimuat dalam rubrik opini Kompas

Related Articles

Kata Mutiara

“Keberhasilan seorang pemimpin diukur dari kemampuan mereka dalam menyejahterakan umat yang mereka pimpin” --- Gusdur

A new version of this app is available. Click here to update.