|  | 

Opini

Mengelola Relasi Pemerintah-Kiai

KADIR KARDING HITAM PUTIH

Oleh: Abdul Kadir Karding

Setelah peristiwa demo besar-besaran 411, Presiden Joko Widodo tampak disibukkan oleh konsolidasi dengan berbagai kalangan. Mantan wali kota Solo dan gubernur DKI Jakarta ini sepertinya ingin menguatkan jaringan untuk mencegah tindakan yang melemahkan pemerintahan. Isu akan adanya upaya makar menjadi bumbu yang menguatkan Jokowi untuk menjaga pemerintahannya.

Selain ketua-ketua partai pendukung pemerintah, Jokowi juga menemui kalangan kiai dan ulama. Tak hanya di Jakarta, akhir-akhir ini setiap kali Jokowi ada kunjungan ke daerah juga sekalian bertemu dengan para kiai dan ulama.

Pertemuan Jokowi dengan para kiai diharapkan bisa mendinginkan suasana. Kita tahu ada sekelompok umat Islam yang berkonsolidasi dengan agenda tertentu. Unjuk rasa 411 bagian dari gerakan sekelompok umat Islam yang juga perlu diperhitungkan. Meski pintu masuknya melalui kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Jokowi mengkhawatirkan gerakan ini. Sepertinya, Jokowi juga berpikir jika tak melakukan komunikasi dengan kiai/ulama, gerakan pendemo Ahok bisa liar sehingga potensi melebar ke berbagai gerakan yang bakal sulit dikendalikan.

Atas situasi seperti itulah, Jokowi bersilaturahim dengan ulama dan kiai. Kita tahu para kiai/ulama merupakan tokoh strategis yang memiliki pendukung militan di akar rumput. Hingga kini, banyak sekali masyarakat yang selalu bersikap sami'na wa ato'na (siap mendengar dan taat) terhadap para kiai.

Dalam sejarah bangsa Indonesia, peran kiai dalam bernegara juga tak bisa diremehkan. Pada era kemerdekaan, para kiai mengobarkan jihad untuk mengusir para penjajah. Sedangkan di era orde lama, orde baru hingga orde reformasi saat ini, para kiai selalu memberikan kontribusi kepada pemerintahan.

Selama ini para kiai/ulama selalu menjadi penjaga moral bangsa. Banyak sekali kiai/ulama di pelosok negeri ini, yang merawat budaya bangsa di tengah masifnya budaya asing. Banyak juga kiai, terutama kiai NU, selalu menggelorakan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). NKRI harga mati menjadi slogan yang selalu disuarakan. Peran ini sangatlah penting karena ada kelompok umat Islam yang secara terbuka menyuarakan khilafah.

Kita tahu, bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku agama ras dan golongan. Jika ada kelompok yang menginginkan sistem khilafah, bisa mengancam NKRI. Jadi, para kiai yang mencegah adanya sistem khilafah itu menjadi bagian jihad untuk terus menjaga NKRI. Para kiai bukanlah birokrat, tak mendapat gaji bulanan, tak mendapatkan uang pensiun, tetapi peran mereka dalam menjaga NKRI sungguh sangat luar biasa. Meski perannya sangat besar, para kiai itu luput dari ingar-bingar pemberitaan. Sebab, para kiai itu biasanya melakukan tindakan kebaikan dengan cara tanpa pamrih.

Peran strategis para kiai ini harusnya "dimanfaatkan" pemerintah sebagai potensi yang tak ternilai dengan materi. Para kiai bagaikan fondasi yang memperkuat kehidupan bangsa Indonesia. Jika pemerintah bisa merangkul para kiai/ulama, negara kita juga akan solid dan kuat.

Untuk itulah, ke depan Jokowi harus memperbaiki pola relasi dengan para kiai/ulama. Sudah seharusnya, pemerintah mendekat ke para kiai/ulama. Untuk apa? Untuk mendengarkan suara umat. Suara kiai bagai representasi suara umat. Apa yang menjadi perkataan kiai bagian dari perkataan umat. Namun, pemerintah juga harus bisa mempetakan figur kiai. Sebab, tak juga bisa dimungkiri kadangkala masih ada kiai yang tak memikirkan umat.

Selain mendengar suara umat, kiai juga bagian dari golongan "manusia langka". Mereka paham tentang ilmu agama. Mereka memiliki pengalaman yang bisa menjadi pelajaran dan hikmah bersama. Dan yang paling penting, dari tangan para kiai/ulamalah kita bisa mendapatkan berkah.

Atas dasar peran strategis para kiai/ulama itulah, Partai Kebangkitan Bangsa menyelenggarakan Halaqah Tabayun Konstitusi di Jakarta, Senin-Selasa (28-29 November 16). Tabayun konstitusi bagian dari upaya para kiai untuk memperjelas posisi konstitusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Para kiai/ulama diharapkan bisa memberi masukan kritis terhadap arah kebijakan yang kurang baik.

Para ulama harus dilibatkan dalam membahas persoalan-persoalan kebangsaan. Tak hanya pemerintah pusat, pemerintah di daerah-daerah juga mesti melibatkan kiai/ulama dalam pengambilan keputusan. Di era otonomi daerah seperti saat ini, banyak kebijakan di daerah yang menentukan nasib umat. Kiai merupakan stakeholder penting sehingga harus didengarkan aspirasinya.

Pemerintahan bisa memilah dan ikut menganalisis ide dan gagasan dari para kiai untuk perbaikan bangsa. Jika memang tak baik, silakan dikritisi. Jika baik, pemerintah harus menindaklanjuti ide itu.

Namun, pemerintah juga harus berpikir bahwa jika seseorang sudah memiliki atribut ulama/kiai, biasanya mereka tidak memiliki motif duniawi. Maka itu, ide dan gagasannya murni untuk kemaslahatan umat. Bukan untuk kepentingan dirinya sendiri.

Agar relasi pemerintahan-kiai bisa intensif dan berjangka kepentingan panjang, pemerintah juga perlu menempatkan orang yang bisa menjadi komunikator antara dua pihak ini. Pemerintah perlu orang yang paham atau bisa membantu membangun komunikasi intensif dengan para kiai rakyat.

Sudah saatnya pemerintah bersedia mendengarkan ide-ide para kiai untuk meneguhkan pembangunan yang sudah baik. Pemerintah tak hanya menjadikan ulama/kiai sebagai pemadam kebakaran: baru dilibatkan saat sudah muncul gejolak sosial. Tapi, pemerintah harus sedini mungkin melibatkan kiai rakyat dalam pengambilan kebijakan-kebijakan strategis.

*Sekretaris Jenderal DPP PKB/ Ketua Fraksi PKB MPR

Tulisan ini telah dimuat dalam rubrik opini koran Republika pada selasa, 29 November 2016.

Related Articles

Kata Mutiara

“Keberhasilan seorang pemimpin diukur dari kemampuan mereka dalam menyejahterakan umat yang mereka pimpin” --- Gusdur

A new version of this app is available. Click here to update.