|  | 

Opini

“Anak Indonesia Dalam Bahaya”

Kang-Maman

JAKARTA- Dari sekian banyak permasalahan anak-anak Indonesia saat ini, saya hanya menuliskan sebagian kecil, tetapi diharapkan akan dapat memberi gambaran tentang besaran masalah anak di Indonesia baik dilihat dari jenis dan tingkat keseriusan masalah yang dialami/dihadapi anak-anak Indonesia.

Selama tahun 2014 masih banyak terjadi kasus kekerasan seksual terhadap anak yang membuktikan bahwa negara belum optimal dalam mengatasi kasus kekerasan seksual terhadap anak. Implementasi Konvensi Hak Anak PBB yang telah diratifikasi pemerintah sejak 25 September 1990 dan ratifikasi opsional protokol konvensi hak anak tentang penjualan anak, prostitusi anak dan pornografi anak melalui UU No. 10/2012 dianggap belum dilakukan dengan baik.Berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sejak Januari hingga April 2014, menerima 622 laporan kasus kekerasan terhadap anak. Yang terdiri dari kasus kekerasan fisik berjumlah 94 kasus, kekerasan psikis 12 kasus dan kekerasan seksual 459 kasus. Dalam catatan KPAI, empat tahun terakhir kasus kekerasan terhadap anak tertinggi pada 2013 sebanyak 1.615, tahun 2011 sebanyak 261 kasus, dan tahun 2012 sebanyak 426 kasus. Yang memprihatinkan dari beberapa kasus kejahatan seksual tersebut, terjadi di tempat-tempat yang seharusnya menjadi tempat aman bagi mereka seperti sekolah, rumah, panti asuhan dengan pelaku orang yang dekat dengan korban seperti guru, ayah, saudara, tetangga dan sebagainya.

Selain daripada kasus kekerasan terhadap anak, data yang mencengangkan juga muncul pada kasus pornografi anak. Menurut data yang dipublikasikan KPAI, sejak tahun 2011 hingga 2014, jumlah anak korban pornografi dan kejahatan online di Indonesia telah mencapai jumlah 1.022 anak. Secara rinci dipaparkan, anak-anak yang menjadi korban pornografi online sebesar 28%, pornografi anak online 21%, prostitusi anak online 20%, objek cd porno 15% serta anak korban kekerasan seksual online sebesar 11 %. Jumlah itu diprediksi akan terus meningkat bila tidak ditanggulangi secara optimal. Pertumbuhan angka anak korban kejahatan online itu bertumbuh pesat seiring meningkatnya jumlah pengguna internet di Tanah Air. Kasus yang terbaru  dan masih hangat diperbincangkan saat ini terkait pornografi anak yaitu kasus vidio mesum anak yang ada di Jawa Timur,meskipun situs tersebut sudah langsung diblokir oleh Kominfo. Namun kasus  tersebut, menambah rentetan panjang  kasus pornografi anak yang terjadi di Indonesia.

Selain daripada kasus-kasus anak diatas,berbagai praktik buruk yang mengancam hak-hak anak Indonesia  masih terjadi sampai saat ini. Mulai dari masih banyaknya pekerja anak, perkawinan anak, anak berhadapan dengan hukum (ABH), AKB, Anak dengan gizi buruk, kekerasan terhadap anak (termasuk kekerasan seksual), trafficking dan sebagainya. Sebagaimana diketahui bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak-hak anak yang merupakan hak-hak asasi manusia. Dalam UU Perlindungan Anak juga ditegaskan bahwa Anak adalah amanah dan karunia Tuhan yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya (UU 23/2002).

Keberadaan buruh anak misalnya masih menjadi masalah besar di Indonesia saat ini. Berdasarkan perkiraan BPS, pada tahun 2010, ditemukan 2,1 juta anak bekerja pada situasi buruk (worst form). Kurang lebih 50% mereka bekerja 35 jam seminggu. Jumlah ini belum mencakup anak-anak dibawah umur 10 tahun. Umumnya mereka bekerja pada jenis pekerjaan yang terlarang dan berbahaya (penuh risiko/rentan) bagi anak, antara lain industri perikanan (jermal), pertambangan, konstruksi, transportasi, industri kimia, dan sebagainya.

Demikian juga anak jalanan (anjal), keberadaannya bukanlah merupakan fenomena baru di Indonesia. Dari fakta yang dapat dilihat secara kasat mata maupun dari berbagai sumber dapat disimpulkan bahwa fenomena anak jalanan masih akan terus membutuhkan perhatian dari negara. Diperkiraan jumlah anak jalanan yang tersebar di 12 kota besar di Indonesia adalah 239.861 dan secara nasional diperkirakan lebih kurang 650.000 jiwa.

Menurut data dan informasi yang dikumpulkan Komnas Perlindungan Anak bahwa sepanjang tahun 2010 mereka menerima 1.258 pengaduan anak yang berhadapan dengan hukum (ABH). Angka ini meningkat dibanding pengaduan pada tahun 2011. Hampir 52 persen dari angka tersebut adalah kasus pencurian diikuti dengan kasus kekerasan, perkosaan, narkoba, perjudian, serta penganiayaan dan 89,8 persen kasus anak yang berhadapan dengan hukum berakhir pada pemidanaan.

Prosentase pemidanaan ini dibuktikan dengan data Anak yang berhadapan dengan Hukum di 16 Lapas di Indonesia (Kementerian Hukum dan HAM) ditemukan 5.308 anak mendekam di penjara. Hanya kurang lebih 10 persen anak yang berhadapan dengan hukum dikenakan hukuman tindakan yakni dikembalikan kepada Kementerian Sosial atau orang tua. Ini menunjukkan bahwa negara khususnya penegak hukum gagal melaksanakan amanat UU Pengadilan Anak, UU Perlindungan Anak maupun Konvensi PBB tentang Hak Anak.

Demikian juga masalah anak yang diperdagangkan (child trafficking) untuk tujuan seksual komersial jumlahnya juga cukup besar. Harus diakui, sulit untuk memperoleh gambaran yang sebenarnya tentang jumlah anak yang diperdagangkan untuk tujuan seksual komersial. Beberapa studi memperlihatkan bahwa jumlah anak yang dilacurkan cukup banyak. Dari data yang dilaporkan oleh berbagai pihak (Buku Putih Binrehabsos, 200; Hull & Sulistyaningsih, 1998; dan Farid, 1999), jumlah anak di bawah 18 tahun yang dilacurkan diperkirakan mencapai 30% dari 80.000 jiwa yang dilporkan. Jumlah total yang diperkirakan oleh Farid (1999) adalah 200-300 ribu jiwa dan kebanyakan perempuan.

Banyaknya situasi buruk yang dialami oleh anak-anak Indonesia harus menjadi perhatian bersama. Selama ini instansi-instansi tersebut di atas belum sepenuhnya komitmen menjadikan isu perlindungan anak sebagai isu bersama (common issues). Dalam menjalankan perintah UU terkait anak sebagai sebuah produk kebijakan masih berjalan secara parsial. Sebagai contoh, negeri ini masih belum punya itikad baik dalam mengurus identitas anak. Fakta masih rendahnya pencatatan kelahiran, yang merupakan hak penting bagi anak untuk mendapatkan legalitas identitas dan kewarganegaraan. Berdasarkan data tahun 2011, tercatat baru 59% anak berumur 0-4 tahun yang telah tercatat kelahirannya. Persoalan lain masih terjadinya pernikahan anak, anak putus sekolah, anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang bekerja, anak korban kekerasan, anak korban eksploitasi seksual, dan sebagainya yang menunjukkan belum terlihat perubahan yang signifikan atas situasi mereka.

Isu dan tantangan perlindungan anak harus segera dijawab, karena melihat kondisi banyaknya kasus anak yang terjadi di Indonesia jadi semakin memperhatinkan atau anak Indonesia kita dalam kondisi bahaya. Oleh karena itu harus ada langkah-langkah konkrit yang dibuat yaitu melalui perencanaan terpadu dan membangun sinergitas dengan berbagai instansi terkait seperti Kementerian Sosial, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Agama, Kementerian Koordinator PMK, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, dan Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Terhadap Perempuan dan Anak (P2TP2A) serta Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

Perkembangan positif produk legislasi terkait anak yang semakin banyak belum diimbangi oleh komitmen pelaksanaannya yang masih jauh panggang dari api. Namun, di sisi lain, publik juga secara obyektif mengapresiasi secara positif tentang penarikan reservasi yang dilakukan Indonesia terhadap tujuh (7) pasal KHA dan menyambut baik bahwa prinsip umum hak anak telah masuk ke dalam konstitusi kita.

Meski harus diakui belum ada pengakuan sepenuhnya terhadap prinsip respect to the view of the child serta prinsip best interest of the child sebagai wujud partisipasi anak. Sementara di dalam UU Perlindungan Anak, empat prinsip umum sudah dimasukkan, dengan catatan pada prinsip respect to the view of the child mesti sesuai asas kesusilaan dan kepatutan. Tambahan ini jelas menimbulkan multi tafsir di kalangan masyarakat.

Kami harus fair juga dengan prestasi dan capaian beberapa lembaga-lembaga seperti KPAI dengan beberapa lembaga lain telah berhasil mendorong lahirnya keputusan Mahkamah Konstitusi untuk menaikkan batas umur pertanggung-jawaban pidana dari delapan (8) tahun menjadi 12 tahun. Batas umur tersebut yang digunakan dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 yang merevisi Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Sementara itu dalam kasus lain, kami di Balegnas juga sudah mendorong agar perubahan terhadap UU Perkawinan bisa dilakukan pada tahun ini. UU ini jelas telah melanggar prinsip-prinsip perlindungan anak dengan memperbolehkan menikah pada usia 16 tahun, adanya perkawinan di bawah tangan, kontrak dan mut’ah, kekerasan yang terjadi dalam praktek budaya.

Kita juga harus kembali mereview konsep partisipasi anak, yang pada hakekatnya adalah hak anak untuk didengar pandangannya. Hal terpenting adalah bagaimana memampukan anak untuk menyatakan pandangan, adanya ruang untuk menyampaikan pandangan, dan pandangan tersebut didengar dan dijadikan bahan pertimbangan bagi pengambilan keputusan dan dilaksanakan. Percuma kalau anak berbicara, tapi tidak didengar. Didengar tapi tidak dijadikan bahan pertimbangan dan sebagainya.

Oleh karena itu, pemerintah bersama orangtua/keluarga, masyarakat, termasuk organisasi-organisasi kemasyarakatan sebagai pihak yang bertanggung jawab, dapat berinisiatif melakukan upaya menjaga dan melindungi hak-hak anak yang jelas-jelas telah dijamin oleh Undang-undang. Selama ini dalam hal-hal tertentu kita sering memberikan beban kesalahan pada anak-anak. Mestinya kita semua sebagai orang dewasa dan sebagai masyarakat, harus memberikan panutan bagi anak-anak. CRC mendefinisikan secara tegas bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah delapan belas tahun, maka semua masyarakat bangsa-bangsa di dunia wajib dan patut mengakui dan menghormati hak anak sebagai bagian dari landasan dalam pemenuhan hak-hak dasar anak seperti hak tumbuh kembang, kelangsungan hidup, hak perlindungan serta hak partisipasi tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun.

Wallahu a`lam bish-shawwab

Oleh: KH. Maman Imanulhaq

 

Related Articles

Kata Mutiara

“Keberhasilan seorang pemimpin diukur dari kemampuan mereka dalam menyejahterakan umat yang mereka pimpin” --- Gusdur

A new version of this app is available. Click here to update.