“Penyiaran Harus Ada Tanggungjawab Sosial, Jangan Sekedar Kepentingan Bisnis”

JAKARTA - Rancangan Undang-undang (RUU) penyiaran yang menyangkut kepentingan masyarakat banyak menjadi salah satu fokus Fraksi PKB di DPR. Hal ini ditegaskan Ketua Fraksi FPKB, Hj. Ida Fauziyah, saat menyampaikan sambutan dalam diskusi publik FPKB tentang RUU penyiaran.
Menurut Ida, perlu sinkronisasi agar benar-benar UU tersebut bermanfaat untuk kebutuhan publik. RUU penyiaran merupakan tanggung jawab kita bersama yang tidak boleh hanya dimonopoli kepentingan industri bisnis semata. "Sesuai dengan tema (industri penyiaran antara kepentingan bisnis, tanggung jawab sosial dan kepentingan publik-red) penyiaran jangan hanya sekedar untuk kepentingan bisnis. Namun perlu juga tanggung jawab sosial soal penyiaran kita di Indonesia," ujar Ida di Gedung Nusantara I DPR RI, Senayan, Jakarta, rabu 08/06.
Terlebih menurutnya Indonesia dalam situasi kekerasan seksual dan kekerasan pada perempuan hari ini. Karenanya sangat penting untuk diperhatikan materi-materinya seiring berbagai penyiaran yang banyak disalahgunakan. "Jadi RUU ini harus menjawab kebutuhan bangsa," imbuhnya.
Hadir dalam diskusi ini Anggota Komisi I FPKB DPR RI Syaful Bahri Anshori, Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Idy Muzayyad, Ade Armando Koordinator Koalisi Nasional untuk Reformasi Penyiaran (KNRP), Ketua Panja RUU Penyiaran Meutya Hafid, dan perwakilan dari Direktur Penyiran Kemenkominfo Syafarudin.
Idy menjelaskan problem dalam penyiaran selain soal regulasi juga berupa penguatan pada wewenang pada KPI selaku regulator. Contohnya soal sanksi terhadap content siaran. ”Jadi, kewenangan itu sangat menggantung. Sanksi untuk isi siaran pun hanya rekomendasi penghentian sementara. Sebab, kalau penghentian tetap akan dianggap melawan kebebasan pers,” katanya.
Menurut Idy, sanksi yang berlaku selama ini tak akan membuat jera lembaga penyiaran karena sanksinya hanya teguran. "Karena itu, dalam RUU ini mutlak diperlukan sanksi disertai dengan denda, meski nantinya denda itu menjadi pendapatan negara," imbuhnya.
Senada dengan itu, Ade Armando juga berpendapat content siaran tidak bisa ditentukan oleh pemilik televisi semata. Sebab, frekuensi merupakan sumber daya alam terbatas yang di dalamnya terdapat hak-hak publik. "Seperti iklan politik mars partai pelindo. Saya yakin banyak yang hafal mars prindo tersebut. Itulah kekacaua penyiaran".
"Karena itu dalam UU ini nanti perlu dipertegas pembatasan kepemilikan, kepemilikan silang, dan dan juga pengaturan pemanfaatan lembaga penyiaran untuk kepentingan politik," tandas Ade Armando.