|  | 

Opini

Politik Oposisi Biner

JazilulFawaidJAZILUL FAWAID
Sekretaris Fraksi PKB DPR

Pada 2015 telah kita lewati. Aneka kejadian telah kita lalui bersama. Ada yang menyenangkan, ada pula yang kurang membahagiakan. Pada tulisan singkat ini saya ingin memfokuskan diri untuk membuat semacam catatan kecil ihwal perpolitikan bangsa Indonesia sepanjang 2015.

Saya sangat sepakat dengan pendapat yang menyatakan bahwa 2015 adalah tahun "pertikaian". Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj dalam refleksi akhir 2015 PBNU mengatakan, elite politik kerap bertikai, sehingga hal ini berdampak langsung pada kondisi politik maupun psikologi rakyat Indonesia.

Pertikaian itu, berdasarkan data yang saya catat, mulai menebar benihnya pasca pemilihan presiden. Pilpres 2015 yang mempertemukan Joko Widodo dengan Prabowo Subianto membawa dampak yang luar biasa hebat bagi konstelasi perpolitikan Tanah Air.

Rakyat terseret menjadi dua kutub yang saling berseberangan. Tarik ulur yang memetakan satu pihak dengan pihak lain "saling berhadapan" sebagai sebuah antitesis atau opisisi biner. Kejadian itu dimaklumi atau tidak merupakan benih awal "pertikaian" panjang dan sekaligus melelahkan yang kelak terjadi selama 2015.

Konstelasi pilpres memunculkan loyalis dan pendukung fanatik yang kerap kali membabi buta dan cenderung irasional. Perihal fenomena ini, budayawan Sudjiwo Tedjo (2014) pernah menyidir dengan sangat sarkas bahwa "pemimpin yang dinabikan akan memetikkan nurani, pemimpin bertangan besi akan mematikan nyali".

Apa yang dikatakan oleh Sudjiwo Tedjo, menurut saya, terlahir dari sebuah realitas yang kala itu sedang terjadi fenomena politik opisisi biner. Politik oposisi biner ini celakanya tidak hanya terjadi di tingkatan elite, di tingkatan akar rumpur rakyat biasa juga terjadi hal semacam itu.

Rakyat terbelah dalam dua arus besar yang cederung simplistik, yakni sebuah kesimpulan "jika tidak mendukung calon A maka ia adalah pendukung calon B". Di tengah fanatisme yang sedemikian kuat itu, rasionalitas menjadi tidak begitu menarik lagi untuk diperbincangkan. Padahal, untuk menjadi seorang presiden atau pemimpin yang utama dan harus kita uji adalah sejauh mana program-programnya dalam menyongsong masa depan.

Rakyat menjadi sedemikian gaduh dan terpecah. Pertikaian pelbagai skala banyak terjadi. Arus pemberitaan juga bisa kita amati. Bahkan, kita masih ingat betul bagaimana kegaduhan itu terpecah juga pada saat proses penghitungan cepat.

Sebuah stasiun televisi yang terang-terangan mendukung salah satu calon presiden membuat versi hitung cepat yang sangat mengejutkan tatkala hasil hitung cepat versi lembaga lain memenangkan pasangan presiden bernomor urut dua, stasiun televisi ini, tentu saja dengan lembaga surveinya, justru memenangkan pasangan nomor urut satu.

Rakyat menjadi sedemikian gaduh dan keruh. Mereka terbelah dan saling ngotot bahwa pasangannyalah yang menang. Dan, yang lebih memilikukan, saling klaim kemenangan itu terjadi jauh sebelum KPU melakukan penghitungan manual.

Lalu, bagaimana dengan kondisi di tingkatan elite? Setali tiga uang dengan kondisi masyarakat akar rumput, elite negeri ini sepanjang 2015 juga sering bertikai. Hal ini dimulai sejak peristiwa perebutan alat kelengkapan dewan. Pertikaian antara pihak yang menamakan diri dengan Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) sampai saat ini nyatanya masih terasa adanya.

Perpolitikan menjadi begitu riuh sekaligus gaduh. Sidang kerap gaduh dan tentu saja berujung pada lambannya kinerja para anggota dewan. Hal ini, dimaklumi atau tidak, tentu saja berimbas pada tersedotnya energi positif yang ada di Senayan.

Di tengah keadaan yang demikian tak menentu itu, muncullah pihak-pihak yang mengingatkan betapa makrifatnya Gus Dur yang pernah mengatakan bahwa kelakuan elite di Senayan tak ubahnya kelakuan bocah-bocah kecil di taman kanak-kanak. Persis elite hanya sibuk dengan pertikaian, sementara rakyat menggantungkan harapan dan hajat hi dupnya pada kebijakan yang bersifat regulatif kepada mereka.

Tidak ada yang harus kita lakukan kecuali berkaca dan menoleh ke belakang, sehingga kita memahami dengan tuntas betapa rekam jejak perpolitikan bangsa ini pada 2015 sangat karut marut dan sarat dengan pertikaian. Tak ada yang kita saksikan kecuali perdebatan yang menjurus pada pertikaian, bukan malah mencari jalan tengah.

Yang patut sangat disesalkan adalah rakyat berubah menjadi manusia-manusia yang dobel standar. Rakyat, besar kemungkinan karena dididik oleh iklim politik yang tidak dewasa, menjadi memiliki penilaian ganda. Arus penilaian ganda ini sangat mungkin juga terjadi dilahirkan oleh sikap fanatisme yang berlebih.

Jika, misalnya, suatu saat pemimpin pilihannya melakukan kekeliruan akan dianggap bukan kesalahan, pasti hanya disebabkan oleh bawahannya yang kurang bisa menerjemahkan perintah atasan. Tapi, sebaliknya jika pihak lawan yang melakukan kekeliruan sekecil apa pun maka itu bukan karena siapa-siapa kecuali ketidakbecusan sang pemimpin. Keadaan yang demikian sungguh berbahaya. Rakyat menjadi rumput kering yang mudah tersulut emosinya.

Tugas elite tak lain adalah memberi cermin bagi rakyatnya. Memberikan teladan bagaimana mengelola perbedaan pandangan dengan penuh keharmonisan. Memberi contoh bagaimana mempraktikkan manajemen konflik dengan baik.

Sebagai penutup catatan singkat ini, saya ingin menegaskan bahwa politik yang baik adalah politik yang menjadikan cita-cita rakyat sebagai mimpi komunal yang harus diwujudkan demi menyongsong masa depan yang lebih baik dan bermartabat. Dalam Alquran, Allah SWT mengingatkan kita dalam sebuah ayat agar terus bekerja sama dan agar tidak bercerai-berai "Wa'tashimu bihablillahi jami'an wala tafarraqu." (QS Ali Imran [3]: 103). Marilah kita rapatkan barisan menuju Indonesia yang hebat dan bermartabat.

Diterbitkan dalam Koran Republika pada kamis 07/01/2016

Related Articles

Kata Mutiara

“Keberhasilan seorang pemimpin diukur dari kemampuan mereka dalam menyejahterakan umat yang mereka pimpin” --- Gusdur

A new version of this app is available. Click here to update.