Niniek: Kerja Layak, Gaji Layak, Hidup Layak, untuk Buruh Migran

JAKARTA - Besar sebagai aktivis pergerakan, Nihayatul Wafiroh termasuk di antara politisi PKB yang “ready on stage”. Terpilih dari daerah pemilihan Jawa Timur III (Banyuwangi, Bondowoso, Situbondo), Neng Niniek-demikian dia akrab disapa, sudah membawa sejumlah agenda politik yang akan diperjuangkannya di gedung wakil rakyat.
“Concern utama saya bagaimana memajukan hak-hak perempuan dan anak,” terang lulusan S2 University of Hawaii ini.
Selama lebih lima tahun terakhir, dua isu ini memang menjadi bagian tak terpisah dari aktivitas Niniek di komunitas NGO dan beberapa organisasi yang dia dirikan. Sejak 2003, ibu dua anak ini sudah aktif di Puan Amal Hayati Region Banyuwang-Situbondo-Bondowoso-Jember. Niniek juga mendirikan Perpustakaan Komunitas di Banyuwangi yang keberadaannya menjadi rumah baca alternatif di tengah mati surinya perpustakaan daerah setempat.
Kegemaran membaca dan menulis juga membuat peserta program doktoral Indonesia Consortium for Religious Studies (ICRS) UGM Yogyakarta ini dipercaya sebagai penulis tetap di majalah Swara Rahima.
Niniek lahir dari lingkungan keluarga pesantren. Anak pertama dari Nyai Hj. Handariyatul Masruroh dan KH A. Mudhofar Sulton ini merupakan cucu KH Muchtar Syafa’at AG, pendiri Pondok Pesantren Darussalam Blokagung, Banyuwangi.
Bagi Niniek, kevakuman sementara fungsi legislasi menyusul konflik Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP) di tubuh DPR bukan lantas jedah dari aktivitas kedewanan. Dalam kapasitasnya sebagai anggota dewan, memaksimalkan waktu longgar ini dia bahkan sudah mengikuti serangkaian kegiatan internasional.
“Kemarin saya izin ketua fraksi untuk terbang dulu ke Nepal beberapa hari. Kebetulan sebagai anggota parlemen saya diundang oleh MFA (Migrant Forum in Asia) dalam pertemuan Kaukus Inter-Parlemen Asia untuk Buruh Migran,” urai Sekretaris Presidium Indonesia Social Justice Network Region Jawa.
Di sana, bersama beberapa anggota DPR lain seperti Rieke Diah Pitaloka (PDIP) dan anggota parlemen lainnya dari Kamboja, Pakistan, Malaysia, China, Myanmar, India, Singapura dan Filipina, Niniek menegaskan komitmen meningkatkan posisi tawar buruh migran di luar negeri.
“Di luar negeri setidaknya ada 6,5 juta buruh migrant perempuan yang menyebar di 170 negara dan 90% mereka bekerja di ranah domestik atau PRT. Kita semua harus membuka mata bahwasannya kondisi mereka sangat rentan terhadap pelanggaran HAM, termasuk kekerasan fisik dan seksual, bahkan banyak dari mereka yang tidak digaji dan menjadi korban trafficking. Tidak sedikit pula mereka yang menjadi korban pembunuhan, seperti kasus dua perempuan yang dibunuh di Hongkong beberapa hari lalu,” jelas Niniek, lugas.
Menurut Niniek, pertemuan antar parlemen ini menjadi kesempatan yang penting bagi Indonesia untuk mendiskusikan lebih matang peran-peran dan kesepakatan-kesepakatan yang akan diambil antara negara pengirim dan negara penerima tenaga kerja.
“Alhamdulillah dalam acara tersebut, saya dan Rieke berhasil memasukkan “The Triple Win for Migrant Workers” dalam konsensus, spirit, perjuangan untuk Buruh Migran. The Triple Win tersebut adalah Decent Work, Decent Wages, Decent Life ( Kerja Layak, Gaji Layak, hidup layak), ini menggantikan istilah 3-D yang melekat pada Buruh Migran yakni Dirty, Dangerous, Difficult (Kotor, berbahaya, Susah). Bismillah semoga bisa terus bersama-sama berjuang untuk kebaikan Buruh Migrant,” pungkasnya.
Niniek berharap adanya pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Menteri Tenaga Kerja, M. Hanif Dhakiri, menjadi momen yang penting untuk mendorong perlindungan terhadap buruh migrant terutama kaum perempuan. (ZAS)