Modul Anti-Pencabulan Masuk Pesantren, Ninik: Perempuan Bangsa Hadir Lindungi Santri

BANYUWANGI-DPP Perempuan Bangsa kembali melanjutkan sosialisasi modul anti-pencabulan di lingkungan pesantren, yang kali ini digelar di Kabupaten Banyuwangi, tepatnya di Havana Park, Jumat (5/12/2025). Sosialisasi ini dilakukan salah satunya untuk menyambut 16 Hari Anti Kekerasan Tehadap Perempuan.
Kegiatan tersebut dihadiri sekitar 500 peserta dari berbagai unsur, antara lain Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) Putri Banyuwangi, Perempuan Bangsa DPC Banyuwangi, Majelis Aqsona, Majelis HMT Banyuwangi, serta komunitas Nabawiyah.
Ketua Umum DPP Perempuan Bangsa, Nihayatul Wafiroh atau Ninik, menegaskan bahwa modul anti-pencabulan ini merupakan langkah konkret dalam memastikan perlindungan menyeluruh bagi anak bangsa, termasuk para santri di pesantren.
"Modul ini merupakan panduan teknis sekaligus wujud nyata komitmen negara untuk memastikan bahwa tidak ada satu pun anak Indonesia, termasuk santri, yang kehilangan haknya atas rasa aman, martabat, dan masa depan," tegas Ninik.
Ia menjelaskan, modul anti-pencabulan tersebut memuat tiga bagian utama. Pertama, faktor-faktor yang memengaruhi ketidakadilan gender (mind mapping gender dan seks).
Kedua, lanjut Ninik, pencegahan perilaku pencabulan dan kekerasan seksual di pesantren. "Dan yang ketiga, panduan penanganan kasus pencabulan dan kekerasan seksual di pesantren," urainya.
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI itu menambahkan, sosialisasi Modul Anti-Pencabulan di Pesantren sejauh ini telah dilakukan di tiga titik. "Dari tiga itu alhamdulillah sudah diikuti 1700-an Kiai dan Nyai di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Tentu nanti kami akan lanjutkan di lokasi lain," tegasnya.
Dalam kegiatan sosialisasi, Perempuan Bangsa menghadirkan dua narasumber, yakni Ning Uswah Syauqi dan Ning Balqis Iskandar. Ning Uswah menjabarkan perbedaan mendasar antara pelecehan, kekerasan seksual, dan pencabulan, yang seringkali disalahartikan di lapangan.
Pelecehan, menurutnya, adalah tindakan bernuansa seksual yang tidak diinginkan dan bersifat mengganggu, meskipun tidak selalu melibatkan tindak kekerasan fisik.
"Kekerasan seksual memiliki unsur pemaksaan, ancaman, atau agresi yang menimbulkan trauma serius. Sementara pencabulan merupakan tindakan melanggar kesusilaan yang dilakukan tanpa persetujuan atau terhadap anak di bawah umur," ujarnya.
Ning Balqis Iskandar turut memaparkan sejumlah data nasional yang menunjukkan betapa seriusnya ancaman kekerasan seksual di lingkungan pendidikan. Data Kementerian Agama RI mencatat sedikitnya 30 kasus kekerasan berbasis gender seksual (KBGS) terjadi di lembaga pendidikan Islam dalam tiga tahun terakhir.
"Dan kalau kita melihat lebih luas, laporan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) tahun 2024 mencatat 573 kasus kekerasan di lembaga pendidikan, dengan 20 persen di antaranya terjadi di pesantren," katanya.
Lebih jauh ia mengurai data Federasi Serikat Guru Indonesia bahkan menyebutkan 101 anak menjadi korban dalam delapan kasus kekerasan seksual, lima di antaranya terjadi di lembaga pendidikan di bawah Kemenag. Survei nasional juga menemukan bahwa 1,06 persen santri berada pada posisi rentan terhadap kekerasan seksual, atau setara 43.497 santri.
Ning Balqis lantas menegaskan empat mekanisme internal pencegahan pencabulan di pesantren.! Pertama, pengawasan yang harus diperkuat, misalnya dengan pemasangan CCTV, pembentukan satgas anti-kekerasan, dan membuka ruang cerita bagi santri.
Kedua, lanjut Edukasi: penyediaan pendidikan seksual komprehensif yang relevan dengan pola kekerasan seksual di pesantren. Ketiga, perubahan pola hukuman: menghapus bentuk hukuman yang bernuansa kekerasan.
"Dan yang keempat, pentingnya perbaikan model pengasuhan. Bagaimana caranya? Tidak lain kecuali dengan penguatan pola pengasuhan sebagai pilar utama pencegahan kekerasan seksual," pungkasnya.


