Komisi III DPR Akan Bentuk Panja Reformasi Penegakan Hukum, Rano Alfath: Reformasi Harus Menyentuh Akar Masalah

JAKARTA— Komisi III DPR RI menyatakan akan membentuk Panitia Kerja (Panja) Reformasi Polri, Kejaksaan, dan Pengadilan dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi III DPR RI dengan Wakil Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Plt. Wakil Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Plt. Kepala Badan Pengawas Mahkamah Agung Republik Indonesia, yang digelar pada Masa Persidangan II Tahun Sidang 2025–2026, Selasa (18/11), di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta.
Rencana pembentukan panja ini mengemuka sebagai respons Komisi III terhadap kondisi penegakan hukum yang dinilai mengalami stagnasi, bahkan kemunduran, dalam hal akuntabilitas, integritas, dan profesionalisme di tiga pilar utama penegakan hukum: kepolisian, kejaksaan, dan peradilan.
Dalam paparannya, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Moh. Rano Alfath menyampaikan analisis komprehensif mengenai situasi penegakan hukum terkini. Ia menilai bahwa reformasi sudah memasuki fase di mana perbaikan tidak bisa lagi ditunda atau dianggap sekadar agenda politis.
“Sudah 27 tahun berlalu sejak Reformasi 1998, tetapi persoalan dasarnya masih kita jumpai: supremasi hukum yang belum kokoh dan lembaga penegak hukum yang belum cukup independen. Penyalahgunaan wewenang, kriminalisasi, kekerasan aparat, sampai putusan pengadilan yang mengundang tanda tanya, semuanya menunjukkan masih ada masalah di hulunya,” ujar Rano.
Ia menekankan bahwa rencana pembentukan panja dimaksudkan untuk menjawab persoalan secara menyeluruh dan tidak sektoral.
“Kita tidak bisa bicara reformasi Polri tanpa menyinggung Kejaksaan, dan tidak mungkin memperbaiki Kejaksaan tanpa memperkuat integritas peradilan. Tiga institusi ini saling terhubung dalam satu ekosistem. Sistem peradilan pidana terpadu itu harus benar-benar menjadi kerangka berpikir, bukan slogan,” tegasnya.
Rano menyebut sejumlah persoalan yang menjadi sorotan Komisi III, mulai dari tingginya laporan kriminalisasi dan kekerasan oleh aparat, lemahnya mekanisme pengawasan, hingga maraknya pelanggaran etik yang tidak dibarengi perubahan kultur organisasi.
Ia juga menyoroti pembentukan Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian oleh Presiden Prabowo Subianto sebagai momentum penting bagi Polri untuk melakukan introspeksi.
“Pembentukan komisi reformasi oleh Presiden menunjukkan negara mengakui adanya persoalan struktural dan kultural di Polri. Tapi penindakan disiplin saja tidak cukup. Kita perlu membenahi tata kelola SDM, memperkuat profesionalisme,” jelas Rano.
Di bidang Kejaksaan, Rano menyoroti lemahnya penegakan integritas internal dan efektivitas pemulihan aset negara.
“Ketika ada jaksa yang diduga menerima aliran dana perkara, dan penyelesaiannya berhenti pada pencopotan jabatan, itu bukan sekadar pelanggaran etik, itu menyangkut integritas lembaga penuntut umum. Kalau Kejaksaan tidak tegas terhadap aparatnya, publik sulit percaya pada objektivitas penuntutan,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan bahaya tipikorisasi perkara perdata, yang menurutnya membuka ruang kriminalisasi warga yang berhadapan dengan pemerintah atau BUMN.
Pada sektor peradilan, Rano menilai meningkatnya pelanggaran etik hakim dan maraknya putusan kontroversial sebagai tanda bahwa problemnya bersifat sistemik.
“Pengadilan adalah benteng terakhir pencari keadilan. Kalau benteng ini rapuh, seluruh bangunan negara hukum ikut runtuh. Kasus mafia tanah, gugatan rekayasa, lemahnya verifikasi dokumen, sampai kriminalisasi advokat, semua ini menunjukkan adanya persoalan struktural yang harus segera diperbaiki,” lanjutnya.
Rano juga menyambut tuntasnya pembahasan revisi KUHAP sebagai langkah penting memperkuat hak tersangka dan korban, membatasi kewenangan aparat, serta menutup celah penyalahgunaan kewenangan dalam proses peradilan.
Menutup pernyataannya, Rano menegaskan bahwa panja yang akan dibentuk harus bekerja secara terukur, berbasis data, dan melibatkan pemangku kepentingan utama, mulai dari lembaga pengawas, akademisi, masyarakat sipil, hingga komunitas korban.
“Reformasi penegakan hukum tidak boleh berhenti pada wacana atau dijadikan komoditas politik. Panja ini harus menghasilkan rekomendasi yang operasional dan memastikan ada pengawasan berkelanjutan. Negara harus hadir untuk menegakkan hukum secara adil, bukan menyalahgunakannya,” tandasnya.
Komisi III berharap rencana pembentukan panja ini dapat menjadi motor percepatan reformasi menyeluruh di tiga pilar penegakan hukum dan memulihkan kembali kepercayaan publik terhadap sistem peradilan Indonesia.


