|  | 

Opini

Indonesia dan Kuasa Energi 

Oleh: Hj. Ratna Juwita Sari, S.E., M.M., Anggota Komisi XII DPR RI Periode 2024-2029

Dinamika geopolitik global yang terjadi di Eropa dan Timur Tengah dalam bentuk perang terbuka antara Rusia dan Ukraina, serta antara Israel dan Iran dalam tiga tahun terakhir menunjukkan peran penting penguasaan energi, tidak hanya sebagai instrumen ekonomi dan perdagangan, tapi juga sebagai senjata politik dan keamanan global. Indonesia selayaknya menarik pembelajaran dari kasus-kasus tersebut. Cara pandang Indonesia selama ini yang mendudukkan energi sebatas sumber kekayaan alam perlu dirubah secara total dengan mulai menempatkannya sebagai kuasa energi guna membangun daya saing ekonomi politik nasional di kancah global.

Harus jujur diakui, kita selama ini terlalu berfokus dan terjebak pada euforia bonus demografi- sebuah kondisi surplus jumlah penduduk usia produktif yang berlangsung sepanjang 2020-2035. Namun demikian, kita lupa bahwa kita sebagai bangsa dan negara Indonesia sudah dikaruniai keunggulan komparatif dalam bentuk bonus sumber kekayaan alam dan bonus geografi. Sudah sejak lama, bahkan sebelum terbentuk Republik Indonesia pada 1945, kita memiliki mineral strategis berupa nikel, kobalt, dan tembaga. Kita juga menguasai migas dan batubara dalam jumlah besar. Secara geografis, Indonesia berada di jalur strategis perdagangan dunia, yakni di antara dua benua dan dua samudera yang dapat mengonversi keunggulan komparatif pada komoditas-komoditas tersebut menjadi keunggulan kompetitif yang kontributif bagi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional.

Upaya Indonesia untuk menjadi kuasa energi bukanlah sekedar impian, tapi sangat mungkin untuk direalisasikan. Target tersebut sangat mungkin dicapai apabila didukung oleh komitmen bersama segenap pemangku kepentingan, perencanaan yang matang, serta langkah-langkah konkret yang dikhidmati secara bersama-sama. Di tengah pertarungan global antara major states dunia seperti Amerika Serikat, Rusia, dan Tiongkok, okupasi energi menjadi senjata geopolitik dan geoekonomi yang sangat mematikan. Siapa yang menguasai bahan baku energi, teknologi mutakhir, serta standard perencanaan yang matang akan dapat menentukan pendulum politik global, bahkan masa depan dunia. Indonesia dengan penguasaan bahan baku energi yang melimpah, jangan sampai terjebak sebagai bangsa medioker, menjadi pelanduk di tengah pertarungan global.

Senjakala Migas

Ketika penulis menilik dan mencermati Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) TA. 2024, penulis menyadari bahwa era migas sebagai fondasi utama perekonomian nasional sudah usai. Ini bukan pandangan pesimis dan skeptis, tapi pandangan realistis yang menuntun penulis untuk merumuskan solusi-solusi kritis dari sisi kebijakan. Betul bahwa kita tidak bisa menegasikan peran migas dalam formulasi kebijakan makro ekonomi nasional. Betul bahwa kita perlu mengoptimalkan pemanfaatan sumur-sumur migas yang ada agar terus berproduksi dengan dukungan teknologi tinggi. Benar bahwa kita perlu sedikit “memaksa” para kontraktor kerja sama untuk berkolaborasi dengan kita menemukan sumur-sumur migas baru, mulai dari melaksanakan desk study, survei udara, kegiatan seismik, hingga eksplorasi. Namun demikian, satu yang perlu digarisbawahi, kita harus memiliki komitmen bersama untuk secara bertahap mengeliminasi peran migas sebagai determinan utama makro ekonomi nasional.

Peran EBT

Lantas bagaimana caranya? Ketika pemerintah melalui Perusahaan Listrik Negara (Persero) menetapkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034, angka-angka yang tertera pada RUPTL tersebut menjadi hembusan angin segar yang dapat menuntun Indonesia menapaki transformasi besar menuju kuasa energi. Selama satu dasawarsa ke depan, Indonesia berkomitmen untuk menambah 69,5 GW pembangkit tenaga listrik, yang mana 76 persen sumber energinya berasal dari energi baru dan terbarukan (EBT). Harapan kita bersama bahwa apa yang digariskan dalam RUPTL ini bisa direalisasikan oleh pemerintah, sehingga baik pemenuhan kebutuhan listrik maupun komitmen besar menuju transisi energi hijau dapat terpenuhi lancar tanpa hambatan. Sebagai langkah awal, pada hemat kami, pemerintah setidaknya dapat menempuh du acara. Pertama, melalui pengembangan industri dalam negeri. Kedua, optimalisasi diplomasi berbasis energi di kancah global.

Pengembangan EBT sebagai langkah strategis Indonesia membangun kuasa energi membutuhkan fundamen yang kuat dalam bentuk dukungan industri domestik mulai dari panel surya, turbin angin, baterai, dan sistem penyimpanan energi. Tanpa dukungan dari sarpras tersebut, transisi energi yang dijalankan berpotensi terjerumus pada skema impor, yang artinya celah terciptanya ketergantungan yang sangat kontraproduktif dengan mimpi mewujudkan kuasa energi. Di sisi lain, Indonesia perlu mengoptimalkan mekanisme diplomasi agar menjadi diplomasi energi. Diplomasi energi bisa diejawantahkan secara government to government (G to G), business to business (B to B), atau skema diplomasi multijalur lainnya dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan energi nasional. Para diplomat Indonesia, perlu diasah intuisinya untuk melihat diplomasi lebih dalam dengan energi sebagai senjatanya. Indonesia berpotensi untuk menjadi pemasok listrik hijau ke Singapura, amonia hijau ke negeri Sakura, serta menjadi produsen bahan baku kendaraan listrik ke negara-negara anggota Uni Eropa. Nilai jual ini yang perlu jadi matters of diplomacy bagi para diplomat agar Indonesia berperan penting dalam rantai pasok energi global.

Indonesia harus berkomitmen, konsisten, dan persisten dalam pengembangan EBT sebagai fundamen dasar bertransformasi menuju kuasa energi. Negara-negara Eropa sudah mengambil “langkah kuda” dengan mengakselerasi pengembangan EBT ketika perang Rusia-Ukraina meletus dan mereka terpaksa menguras cadangan energi migasnya. Di sisi lain, masyarakat maju di wilayah Eropa dan Amerika mulai terbuka mata dan telinganya bahwa oligarki yang eksis di negara mereka masing-masing menjadi sumbatan utama dalam pengembangan EBT. Di Amerika Serikat misalnya, tidak dipungkiri bahwa kampanye-kampanye politik presiden dan wakil presiden banyak dibiayai oleh perusahaan-perusahaan minyak. Sebagai kompensasi politik dan ekonomi, para pejabat politik dan pemerintahan di Amerika Serikat akan terus melakukan cipta kondisi bahwa harga minyak selalu lebih murah dibandingkan dengan ongkos pengembangan EBT. Pemerintah negara-negara di Eropa dan Amerika melakukan cipta kondisi bahwa EBT adalah ilusi, utopia, sedangkan energi fosil lebih murah dan mudah diakses. Namun demikian, konflik di Eropa dan Timur Tengah telah membuka mata masyarakat di negara-negara tersebut, bahwa pengembangan EBT bukan sekedar keharusan, tapi kebutuhan.

Ikhtiar Nasional

Sebagai tonggak penting dalam menuju kuasa energi, pemerintah perlu melakukan konsolidasi terhadap ikhtiar-ikhtiar yang sudah dilakukan. Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang mentargetkan EBT sebesar 23 persen pada 2025 dan 31 persen pada 2050 dalam bauran energi primer nasional harus selalu dipedomani. Pemerintah melalui kementerian dan instansi terkait juga harus konsisten dan persisten dalam memberikan insentif untuk pengembangan EBT, baik dalam bentuk insentif keuangan, insentif fiskal, maupun mekanisme provisi untuk barang atau jasa di bawah harga pasar. Di sisi lain, pemerintah melalui kementerian dan instansi terkait perlu lebih optimal membumikan penggunaan EBT di masyarakat dengan pemanfaatan secara langsung bagi kepentingan petani, nelayan, dan pelaku UMKM. Jangan sampai transisi energi melekat pada kognitif masyarakat kecil sebagai proyek elit. Poin-poin penting tersebut akan menjadi masukan konstruktif dalam penyusunan RUU EBT di legislatif sebagai payung hukum pengembangan EBT secara jangka Panjang.

Terakhir, penulis berpandangan bahwa transformasi Indonesia menuju kuasa energi dapat berlangsung smooth apabila segenap pemangku kepentingan meningkatkan kewaspadaan nasional pada dinamika geopolitik global. Politik global tidak bisa steril dari kepentingan para hegemon dunia. Pengembangan nuklir di Iran yang selalu didistraksi oleh Amerika Serikat dan IAEA adalah bukti bahwa menuju kemandirian energi nasional selalu akan menemui batu sandungan dari aras eksternal. Indonesia sudah mengalami hal serupa ketika kebijakan hilirisasi tambang, khususnya nikel yang menjadi sumber energi utama kendaraan listrik, mendapat resistensi dari rezim perdagangan internasional (WTO). Indonesia yang melihat peluang untuk menjadi pemasok utama kendaraan baterai global dituduh menerapkan proteksionisme yang bertentangan dengan spirit liberalisasi perdagangan. Untuk merespons ancaman dan tantangan tersebut, kembali ke pandangan sebelumnya, transformasi menuju kuasa energi perlu digawangi oleh praksis diplomasi energi yang kuat oleh duta-duta diplomasi Indonesia di negara-negara sahabat dan organisasi supranasional dunia. (*)

Related Articles

A new version of this app is available. Click here to update.