Refleksi Harlah PKB: “Menjawab Tantangan Zaman, Menjaga Akar Keumatan dan Kebangsaan”

Penulis : Andik Kuswanto
Koordinator Tenaga Ahli Fraksi PKB
Hari Rabu, 23 Juli 2025, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) memperingati hari lahirnya yang ke-27. Peringatan ini bukan sekadar ritual tahunan, tapi momentum penting untuk merefleksikan kembali jati diri partai, arah perjuangan politik, serta relevansinya di tengah dinamika sosial dan politik Indonesia yang kian kompleks.
PKB lahir dari rahim reformasi 1998, saat bangsa ini sedang mencari arah baru setelah runtuhnya rezim otoriter. Didirikan oleh para ulama Nahdlatul Ulama dan tokoh-tokoh masyarakat sipil, PKB hadir sebagai representasi kekuatan Islam moderat yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, kebangsaan, dan kemanusiaan. Semangat ini terus digaungkan hingga hari ini, namun tantangan zaman menuntut refleksi yang lebih mendalam.
Krisis Kepercayaan dan Polarisasi Politik
Saat ini, Indonesia sedang menghadapi krisis kepercayaan publik terhadap institusi politik. Politik transaksional, oligarki kekuasaan, dan maraknya praktik pragmatisme membuat rakyat semakin apatis. Dalam konteks inilah, PKB ditantang untuk tetap menjaga identitasnya sebagai partai berbasis nilai, bukan sekadar mesin elektoral.
Di tengah polarisasi sosial-politik yang tajam pasca Pemilu 2024, peran PKB sebagai kekuatan penyeimbang (moderating force) menjadi sangat penting. Sebagai partai yang lahir dari tradisi Islam Nusantara yang damai dan inklusif, PKB memiliki tanggung jawab moral untuk meredam konflik identitas, mengedepankan dialog, dan memperkuat ruang tengah demokrasi Indonesia.
Isu Rakyat: Dari Desa hingga Transformasi Digital
Refleksi Harlah PKB juga harus menyoroti realitas rakyat hari ini. Ketimpangan ekonomi masih tinggi, harga pangan tidak stabil, petani dan nelayan masih rentan, dan masyarakat desa kerap tertinggal dari pusat pembangunan. Sementara itu, generasi muda menghadapi tantangan lain: pengangguran, akses pendidikan, dan ancaman disinformasi di ruang digital.
PKB perlu menunjukkan keberpihakannya melalui kebijakan nyata—bukan hanya narasi politik. Program pembangunan desa, perlindungan buruh migran, dan kebijakan afirmatif bagi pendidikan dan UMKM digital harus terus diperjuangkan agar rakyat benar-benar merasakan kehadiran partai ini dalam kehidupan sehari-hari.
Regenerasi dan Masa Depan Politik Islam Moderat
Tak kalah penting adalah persoalan regenerasi. Dalam usia yang ke-27, PKB harus mulai mempersiapkan wajah baru politik Islam moderat di Indonesia. Kaderisasi harus diarahkan tidak hanya pada loyalitas, tetapi juga integritas dan kapasitas. Dalam dunia yang cepat berubah, partai perlu merangkul anak muda—bukan hanya sebagai pemilih, tetapi juga sebagai pelaku utama dalam proses pengambilan keputusan.
Apalagi, tantangan ke depan tidak lagi hanya soal politik praktis, melainkan juga krisis iklim, keamanan siber, hingga disrupsi teknologi kecerdasan buatan. PKB harus mampu melampaui narasi lama dan hadir dengan agenda yang solutif dan progresif.
Di level kepengurusan pusat semangat regenerasi sudah terlihat dengan ditunjuknya anak muda menjadi Ketua Harian Dewan Pengurus Pusat (DPP) PKB. Langkah-langkah strategis seperti ini menunjukkan bahwa Ketua Umum DPP PKB Gus Muhaimin Iskandar sangat peduli terhadap generasi milenial dan gen Z yang memang jumlahnya cukup besar di Indonesia.
Gus Muhaimin sadar betul bahwa regenerasi adalah keniscayaan, yakni sebagai upaya PKB mengader tokoh muda di internal untuk siap mengambil transisi kepemimpinan partai. Langkah ini membuat anak muda dari generasi milenial dan Z berpikir mempunyai ruang dan kesempatan berpolitik praktis.
Meneguhkan Komitmen Awal: Islam Rahmatan Lil ‘Alamin
Refleksi harlah ini hendaknya menjadi panggilan untuk kembali ke akar. PKB bukan hanya partai politik, tetapi juga gerakan moral dan kultural. Sebagaimana diwariskan oleh KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), keberagaman Indonesia harus dirawat, bukan dijadikan alat politik. Bahwa perjuangan politik bukan semata untuk meraih kursi kekuasaan, melainkan untuk menegakkan keadilan sosial, menciptakan ruang hidup yang damai, dan mengangkat harkat umat manusia.
Di tengah ancaman intoleransi dan kemunduran demokrasi, PKB memiliki posisi strategis untuk menjadi jangkar stabilitas. Tapi itu hanya bisa terwujud jika refleksi ini diikuti dengan pembenahan internal, komitmen nilai, dan keberanian melawan arus pragmatisme yang menggerogoti politik kita hari ini.
Refleksi Jati Diri
Harlah ke-27 bukan sekadar angka. Ia adalah pengingat bahwa perjuangan belum usai. PKB masih dibutuhkan—bukan hanya oleh warga nahdliyyin, tetapi oleh seluruh rakyat Indonesia yang mendambakan keadilan, persatuan, dan kemajuan.
Momentum Harlah ini juga menjadi penanda bahwa PKB harus terus meneguhkan dirinya sebagai rumah besar kebangsaan dan keummatan. Dengan semangat "membangun dari desa, menata kota", PKB diharapkan mampu menjadi motor penggerak kemajuan bangsa dari akar rumput.
Sebagaimana pesan Gus Dur yang melengenda: "Tidak penting apapun agamamu atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan pernah tanya apa agamamu." Semangat inilah yang harus menjadi kompas perjuangan PKB.