Polri untuk Masyarakat

Oleh: Dr. K.H. Jazilul Fawaid, S.Q., M.A., Ketua Fraksi PKB DPR RI 2024-2029
Pada hari ini kita bangsa Indonesia memperingati 79 tahun lahirnya Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Dalam usianya yang tak lagi muda, Polri memikul tanggung jawab yang sangat besar sebagai institusi penegak hukum, pelindung, pengayom, serta pemberi rasa aman kepada masyarakat. Tanggung jawab tersebut tentu tidak mudah untuk dipikul mengingat kompleksitas persoalan penegakan hukum di tanah air dan kuatnya tuntutan dari masyarakat agar Polri memainkan peran yang lebih signifikan dalam mewujudkan rasa aman dan keadilan bagi masyarakat.
Kompleksitas penegakan hukum di tanah air dapat dilihat dari respons institusional yang diberikan oleh Polri dengan mencanangkan program Presisi, yakni Polri yang prediktif, responsibilitas, dan senantiasa mengedepankan prinsip transparansi berkeadilan bagi masyarakat dalam melaksanakan tugasnya. Masyarakat Indonesia yang sudah semakin maju saat ini membutuhkan pelayanan hukum yang sifatnya mitigatif dan meminimalkan risiko, bukan pelayanan yang sifatnya reaktif dan punitif. Masyarakat Indonesia juga semakin membutuhkan pelayanan dan penegakan hukum yang dengan penuh tanggung jawab dapat memberikan keadilan yang paripurna, keadilan yang tidak tumpul ke atas dan tajam ke bawah, keadilan dalam wujudnya yang paling esensial.
Polri secara organisasional sejatinya memiliki kapasitas untuk merealisasikan program-program yang mereka canangkan, terlebih lagi memenuhi aspirasi masyarakat. Polri memiliki akar sejarah kebangsaan yang kuat dengan nilai-nilai dan prinsip hidup ksatria yang masih terpelihara dengan baik hingga saat ini. Nama korps Bhayangkara sendiri, julukan yang disematkan kepada Polri, berakar pada sejarah bangsa di zaman Patih Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit. Pasukan Bhayangkara adalah pasukan berani mati yang didedikasikan untuk menjaga raja. Spirit masa lalu tersebut masih terpatri di sanubari prajurit Polri saat ini. Bedanya, jika pada masa lalu loyalitas ditujukan pada raja, maka saat ini dimensi pengabdiannya lebih luas, yakni loyalitas pada bangsa dan negara Indonesia dengan senantiasa berpijak kepada konsensus dasar kebangsaan.
Aspek kesejarahan Polri juga menyuguhkan sisi ketokohan dan keteladanan dari personel Polri untuk dijadikan rujukan bagi para prajurit Polri di masa kini dalam menjalankan tugasnya. Adalah sosok Jenderal Polisi (Purn) Hoegeng Iman Santoso, Kapolri era 1968-1971 yang menjadi suri tauladan. Di tengah sistem birokrasi hukum yang dikenal korup pada masa itu, beliau hadir sebagai anomali. Ia dikenal "keras kepala" dalam menegakkan integritas, profesionalisme, kejujuran, dan pantang menyerah dalam menjalankan tugas. Guyonan Gus Dur tentang tiga polisi jujur, yakni patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal Hoegeng adalah bentuk apresiasi kepada pribadi langka seperti Jenderal Hoegeng. Tentunya hal ini sepatutnya menjadi pemantik bagi para prajurit Polri di masa kini untuk memberikan kontribusi yang lebih besar kepada bangsa dan negara melampaui para pendahulunya.
Dengan berpijak pada modalitas struktural dan historis yang dimiliki tersebut, Polri perlu menatap masa depan Indonesia dengan optimisme yang tinggi dengan berkomitmen memberikan kontribusi yang sebesar-besarnya melalui jalur penegakan hukum. Ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan (AGHT) di level keamanan domestik hari ini sangat kompleks dan tak mudah ditangani. Kemajuan teknologi telah memodifikasi AGHT yang ada menjadi AGHT yang bersifat asimetris, dan membutuhkan penguasaan teknologi tinggi untuk penanganannya. Kejahatan judi online, pinjaman online ilegal, kejahatan siber, pencucian uang, pembalakan hutan, kekerasan oleh KKB, hingga penanganan terorisme adalah daftar persoalan yang harus ditangani dan dicarikan terobosan dalam metode penanganannya. Selain itu, Polri juga dituntut untuk berkontribusi dalam mendukung tercapainya program strategis nasional, yakni swasembada dan lumbung pangan nasional melalui mekanisme pengamanan jalur-jalur distribusi untuk benih tanaman, pupuk, serta peralatan pertanian. Tantangan ini harus direspons oleh Polri secara cermat dan senantiasa mengedepankan profesionalisme karena dapat menjadi sarana untuk meningkatkan skala kontribusi Polri.
Pimpinan dan seluruh jajaran Polri perlu merapatkan barisan. Soliditas di antara seluruh personel Polri adalah kunci untuk merespons AGHT yang ada melalui pelayanan secara presisi. Hal-hal yang berpotensi memecah belah Polri baik dari dalam maupun dari luar institusi harus dicegah dengan senantiasa berpedoman pada konstitusi dan UU Polri sebagai landasan hukum. Kemajuan teknologi dan mode kerja sama pentahelix dengan pemangku kepentingan hukum lainnya menjadi faktor-faktor tak kalah penting dalam meningkatkan kapasitas dan level pengabdian Polri. Terakhir, apa yang menjadi masukan dan kritik masyarakat terhadap Polri perlu didengar dan dijadikan pencermatan. Kekecewaan masyarakat terhadap Polri yang terkadang masih dianggap tebang pilih dalam penegakan hukum, serta kritik-kritik lainnya harus didudukkan secara bijak sebagai pelecut bagi kerja dan kinerja Polri ke depan. Semua itu semata-mata guna menjadikan Polri sebagai institusi untuk masyarakat. (*)