Polemik Empat Pulau, DPR Desak Pemerintah Pertimbangkan Unsur Sejarah

JAKARTA – Polemik kepemilikan empat pulau strategis, yakni Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Pulau Panjang, dan Pulau Lipan, yang saat ini menjadi sengketa antara Pemerintah Provinsi Aceh dan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, mendapat sorotan tajam dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Anggota DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) asal Dapil Aceh, Irmawan, mendesak pemerintah untuk tidak hanya berpatokan pada aspek geografis, melainkan juga mempertimbangkan unsur sejarah yang kuat dalam mengambil keputusan.
“Sebagai Anggota DPR yang berasal dari Dapil Aceh, saya berharap pemerintah ini tidak hanya mengambil keputusan berdasarkan rupabumi saja. Karena kalau diambil garis lurus, sebagian wilayah Nias merupakan milik Aceh. Tapi juga mempertimbangkan unsur sejarah dari keempat pulau itu,” ungkap Irmawan, Selasa (17/6/2024).
Untuk dikeahui sengketa empat pulau mencuat setelah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada April 2025 menerbitkan Keputusan Nomor 300.2.2-2138, yang menetapkan keempat pulau tersebut sebagai bagian dari wilayah Sumatera Utara, khususnya Kabupaten Tapanuli Tengah.
Irmawan menegaskan bahwa keputusan berdasarkan "rupa bumi" atau garis lurus geografis saja bisa menyesatkan, bahkan berpotensi mengklaim sebagian wilayah Nias sebagai milik Aceh. Oleh karena itu, ia menekankan bahwa unsur sejarah adalah tolak ukur penting yang tidak bisa diabaikan. "Kepemilikan empat pulau ini berkaitan erat dengan kesepakatan perundingan Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki pada 2005 terkait batas Aceh," ujar Irmawan.
Ia menambahkan bahwa batas Aceh sendiri telah diatur secara jelas dalam Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara, yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno. UU ini secara tegas menetapkan Aceh sebagai daerah otonom yang terpisah dari Sumatera Utara.
"Pertimbangan sejarah ini yang harus menjadi unsur utama dalam memutuskan kepemilikan empat pulau. Jadi tidak hanya mengambil keputusan dari rupa bumi yang kemudian berdampak pada polemik antar provinsi dalam satu negara," tegasnya.
Irmawan juga mengungkapkan bahwa Pemerintah Provinsi Aceh memiliki bukti-bukti kuat atas kepemilikan keempat pulau tersebut, yang sebagian besar dipegang oleh masyarakat Aceh. Bukti-bukti tersebut meliputi sertifikat kepemilikan yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Aceh, keberadaan kuburan leluhur orang Aceh yang dijaga turun-temurun di keempat pulau tersebut. “Selain itu dokumen administrasi kepemilikan dermaga, surat kepemilikan tanah tahun 1965, serta dokumen pendukung lainnya,” katanya.
Irmawan menyatakan keyakinannya bahwa Presiden Prabowo akan mempertimbangkan secara matang dan mengambil keputusan terbaik demi kebaikan bersama. Menurutnya keputusan akhir dari polemik ini sangat dinanti, mengingat pentingnya stabilitas administratif dan pengakuan historis bagi kedua provinsi yang bersengketa. "Bagaimanapun, Indonesia adalah negara kepulauan berdaulat yang memiliki sejarah historis yang tak bisa dilepaskan begitu saja," pungkas Irmawan.
Penulis : Rach Alida Bahaweres