|  | 

Opini

Waspada Ekonomi Global 2025, Ada Potensi Depresi

Oleh: Hasanuddin Wahid

Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Anggota Komisi XI DPR RI

DUA institusi keuangan global termuka, Bank Dunia dan IMF memperkirakan bahwa ekonomi global pada 2025 hingga 2026 bertumbuh tipis, tetapi dalam kondisi yang rentan atau berisiko karena berbagai tekanan.

Bank Dunia, misalnya, memproyeksikan hingga Desember 2024 ini, rata-rata ekonomi global meraih pertumbuhan 2,6 persen dan meningkat tipis menjadi 2,7 persen pada 2025-2026 mendatang. Sementara itu, perkiraan resmi IMF untuk pertumbuhan PDB riil global tahun 2025 cukup positif sebesar 3,2 persen.

Ketidakpastian global dan ancaman depresi ekonomi

Meski optimistis akan ada pertumbuhan tahun 2025 dan 2026, kedua lembaga keuangan internasional itu mewanti-wanti bahwa ancaman dan ketidakpastian global dapat mengancam stabilitas dan pertumbuhan global.

Pertama, kondisi geopolitik, terutama di kawasan Timur Tengah dan Eropa Timur yang masih terus bergejolak dan belum ada tanda-tanda akan berakhir. Kedua, adanya kemungkinan Donald Trump, presiden terpilih AS, negara dengan kekuatan ekonomi terbesar dunia, menaikkan tarif dan memasang penghalang proteksionis yang ketat.

Jika pemerintahan Trump menepati janjinya mengenakan tarif sepihak sebesar 10 persen pada semua impor AS dan tarif sebesar 60 persen pada impor dari Tiongkok, maka impor AS kemungkinan akan mengalami kontraksi tahun depan. Bahkan, para analis global memperkirakan, kebijakan ‘American First’ Trump bisa memicu pembalasan oleh pemerintah negara lain sehingga menimbulkan perang dagang global yang brutal.

Perang dagang bisa berujung pada depresi ekonomi, mungkin mirip dengan depresi besar pada 1930-an. Ancaman lain bagi ekonomi global adalah nilai dollar AS yang mengalami penguatan tajam.

Diketahui, sehari setelah Pemilu 5 November 2020, dollar AS mulai menguat terhadap sekeranjang mata uang utama lainnya. Dollar AS terus menguat, bahkan mencapai titik tertinggi baru untuk tahun ini pada 13 November, saat para ekonom dan pedagang mempertimbangkan kebijakan yang diusulkan oleh Presiden terpilih dan merevisi perkiraan mereka untuk mata uang dominan dunia tersebut.

Kekuatan tersebut merupakan perubahan tajam dari pelemahan berkelanjutan selama tiga bulan dan mencapai titik terendahnya untuk tahun ini pada akhir September. Pergerakan tajam nilai dollar AS dapat memiliki efek yang tidak stabil pada ekonomi global. Pasalnya, mata uang AS dipakai hampir 90 persen dari semua transaksi valuta asing. Komoditas penting, seperti minyak, biasanya dihargai dalam dollar AS.

Memang, dollar yang lebih kuat membuat orang Amerika lebih murah untuk membeli barang-barang asing dan bepergian ke luar negeri. Namun, perusahaan-perusahaan AS yang mengekspor produk mungkin menjadi kurang kompetitif.

Di luar AS, penguatan dollar memicu inflasi di negara-negara dengan mata uang yang lebih lemah dan membuat lebih sulit untuk membayar utang dalam mata uang dollar, yang membebani ekonomi global. Kenaikan dollar AS sekilas tampak aneh, karena Trump sering mengatakan bahwa demi ekspor AS, ia lebih suka melihat dollar melemah.

Namun, rencananya untuk mengenakan tarif impor dan memotong pajak, di antara tindakan lainnya, direspons negatif oleh pelaku ekonomi AS yang berorientasi ekspor. Sebagian besar ekonom meyakini bahwa aksi Trump akan menghasilkan hal yang sebaliknya.

Ketiga, China, negara kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia, tampaknya mulai sempoyongan. Selain berhadapan dengan persaingan pasar global yang ketat, para pemimpin Tiongkok bergulat dengan setumpuk masalah internal akibat utang pasar perumahan yang berlebihan; keuangan pemerintah daerah yang memburuk; rantai nilai global (GVC) yang terfragmentasi; meningkatnya arus keluar investasi langsung asing (FDI); dan ketidakefisienan, pemborosan, dan korupsi dalam birokrasi.

Keempat, ‘zona euro’ (Eropa) masih tetap terperangkap dalam periode pertumbuhan yang sangat rendah, yaitu 0,8 persen, karena ekonomi Spanyol dan Inggris yang beringsut menguat, tetapi pertumbuhan akan melambat di Perancis, sedangkan ekonomi Jerman tetap lemah.

Kelima, dampak pandemi Covid-19, bencana alam dan guncangan global yang terjadi dalam beberapa waktu belakangan, telah memperburuk posisi fiskal dan utang di negara-negara yang disebut emerging market and developing economy (EMDE). IMF mencatat dua perlima dari 35 negara kecil EMDE berisiko tinggi mengalami kesulitan utang atau sudah mengalaminya, kira-kira dua kali lipat dari EMDE lainnya.

India dan Indonesia, dua contoh terbaik. Menurut Band Dunia dan IMF, dalam kondisi ekonomi global yang penuh dengan ketidakpastian, India dan Indonesia menjadi contoh terbaik dari negara yang mampu bertumbuh cepat pada 2025.

Didukung permintaan domestik yang besar, lonjakan investasi tinggi, dan aktivitas jasa yang kuat, India diproyeksikan akan tumbuh rata-rata 6,7 persen per tahun fiskal dari 2024 hingga 2026 menjadikan India sebagai satu-satunya negara di kawasan Asia Selatan akan meraih pertumbuhan, bahkan tercepat di dunia.

Sementara itu, didukung kelas menengah yang semakin berkembang, tingginya konsumsi masyarakat karena jumlah penduduk mencapai 280 juta, dan kebijakan ekonomi yang umumnya bijaksana, Indonesia diproyeksikan akan menjadi satu-satunya negara di kawasan ASEAN yang dapat tumbuh rata-rata 5,1 persen selama dua tahun ke depan.

Meluncurkan kebijakan bauran

Walau berhadapan dengan ketidakpastian global, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo tetap optimistis bahwa perekonomian Indonesia ke depan akan semakin baik. Selaras dengan proyeksi Bank Dunia dan IMF, BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 4,8-5,6 persen pada 2025. Pertumbuhan ini akan disokong tingkat konsumsi yang besar, tren investasi dan ekspor yang cenderung meningkat pascapandemi Covid-19.

BI juga mengaku selalu mewaspadai risiko ketidakpastian ekonomi global yang menyebabkan ekonomi global bertumbuh sangat lamban, bahkan berisiko terjadi depresi. Meski demikian, BI tidak gentar dan berusaha mengatasi ketidakpastian global pada tahun 2025 dan masa depan dengan sebaik mungkin, dengan meluncurkan kebijakan bauran. Tujuannya adalah memperkuat stabilitas dan pertumbuhan ekonomi nasional secara berkelanjutan.

Kebijakan bauran BI itu meliputi stabilitas nilai tukar rupiah, mengembangkan digitalisasi sistem pembayaran, mendorong pertumbuhan inklusif, mengupayakan penguatan struktur industri, dan menjaga inflasi supaya tetap berada di angka 2,5±1 persen. Untuk menstabilkan nilai tukar, BI akan terus memperhatikan pergerakan nilai tukar Rupiah dan prospek inflasi serta perkembangan data dan dinamika kondisi yang berkembang.

Berkenaan dengan itu, ada Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 19-20 November 2024 memutuskan untuk mempertahankan BI-Rate sebesar 6 persen, suku bunga Deposit Facility sebesar 5,25 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,75 persen. Salah aspek yang mendapat penekanan utama dalam kebijakan bauran BI kali ini adalah pengembangan digitalisasi pembayaran.

BI akan memperkuat keandalan infrastruktur dan struktur industri sistem pembayaran digital. BI juga akan meningkatkan implementasi sertifikasi kompetensi di bidang sistem pembayaran untuk mendukung Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2030; memperluas akseptasi digital melalui edukasi kepada merchant QRIS; dan memperkuat koordinasi kebijakan dengan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan mitra strategis.

Menurut BI, implementasi platform pembayaran digital akan mendukung pertumbuhan ekonomi dan membawa manfaat yang jauh lebih luas, seperti mendukung program go green karena digitalisasi tidak membutuhkan dokumen hardcopy (paperless), mendukung gerakan pembayaran non tunai (cashless) karena seluruh transaksi pembayaran dilaksanakan secara elektronik, serta mendukung peningkatan pasar UMKM.

Terkait inflasi, BI berusaha menjaganya supaya tetap berada di angka 2,5±1 persen. Untuk itu BI akan terus memperkuat koordinasi kebijakan dengan (Pusat dan Daerah) melalui program Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP dan TPID).

Tetap waspada

Pada sisi lain, BI mengingatkan agar seluruh warga bangsa, terutama para pelaku ekonomi Indonesia, supaya tetap waspada karena ekonomi global sedang tidak baik-baik saja. Nilai dollar AS cenderung menguat, sehingga BI sebagai bank sentral nasional ?harus berjuang mati-matian untuk mengamankan nilai tukar rupiah. BI mengaku bersikap sangat berhati-hati, dan untuk sementara waktu menahan diri menurunkan suku bunga.

Selain itu, BI akan berusaha agar cadangan devisa cukup tinggi, dan akan selalu menjaga nilai rupiah. Untuk mendorong pertumbuhan, BI akan menambahkan likuiditas d Januari 2025, akan fokus pada program padat karya di sektor pertanian, perumahan, dan sektor ekonomi inklusi lainnya. Sementara itu, BI akan terus gencar mengkampanyekan QRIS sehingga dapat diakses secara lebih luas dan lebih banyak daerah untuk meningkatkan kegiatan dan memajukan UMKM dan perekonomian dan rakyat.

Tentu saja, sebagai warga bangsa, kita berharap, kebijakan bauran BI yang pro-stability and growth dapat dijalankan tanpa kendala berarti. Lebih daripada itu kita berharap bahwa kondisi global tidak menjadi lebih buruk pada tahun depan, supaya kebijakan bauran BI dapat berfungsi efektif sehingga perekonomian bangsa kita dapat bertransformasi secara berkelanjutan. (*)

 

Related Articles

A new version of this app is available. Click here to update.