Perang Israel-Iran dan Momentum Kemandirian Energi

Oleh: Hj. Ratna Juwita Sari, Anggota Komisi XII Fraksi PKB DPR RI
Perang antara Israel dan Iran yang meletus sejak 13 Juni lalu telah menyita perhatian masyarakat dunia, terutama karena dampak perang tidak hanya dirasakan oleh kedua negara, tapi juga menimbulkan guncangan terhadap geopolitik regional dan global. Sepekan setelah perang pecah, harga minyak mentah jenis Brent dan West Texas Intermediate (WTI) di pasar global meroket hingga menembus angka US$ 81 per barel, naik 8 hingga 10 persen dari harga normal. Angka tersebut berpotensi terus merangkak naik apabila konflik kedua negara tak kunjung berhenti. Yang paling dikhawatirkan oleh banyak pihak adalah terkait rencana Iran untuk menutup Selat Hormuz sebagai senjata geopolitik terakhir untuk memenangi peperangan dengan Israel yang dibekingi oleh Amerika Serikat.
Suhu konflik yang semakin memanas di Tanah Arab dalam sepekan terakhir ini sejatinya mengulangi fenomena konflik yang meletus dua tahun lalu di Benua Eropa, ketika perang Rusia dan Ukraina pecah dan menimbulkan guncangan di sektor energi global. Sanksi ekonomi yang diterapkan oleh AS dan Uni Eropa terhadap Rusia membuat Rusia memilih opsi untuk menggunakan produksi migasnya sebagai senjata untuk memukul balik lawan-lawan politiknya di kawasan. Alhasil, Eropa tidak saja mengalami sumbatan dalam rantai pasok untuk memenuhi kebutuhan domestiknya, tapi juga harus menguras cadangan energi yang selama ini disimpan. Sikap Rusia yang menggunakan migas sebagai geopolitical weapon telah membuka mata banyak pihak bahwa kemandirian energi adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh setiap negara berdaulat.
Kembali pada kasus di Timur Tengah. Tanpa menutup Selat Hormuz sekalipun, konflik kedua negara telah memicu kenaikan harga minyak global. Lifting dan ekspor minyak Iran sebagai produsen migas dunia dengan kapasitas 3,3 juta BOPD menjadi tersumbat karena Iran sibuk menjaga setiap jengkal wilayah kedaulatannya dari serangan zionis Israel. Jika Iran benar-benar menutup Selat Hormuz yang melayani distribusi hampir 20 hingga 30 persen minyak global, maka dampak di sektor energi global akan semakin fatal. Akan ada efek derivatif dalam bentuk inflasi global sebagai konsekuensi logis dari penutupan tersebut. Bagi negara-negara yang pemenuhan kebutuhan energi domestik masih bergantung pada skema impor, termasuk Indonesia, apa yang terjadi di Timur Tengah merupakan ancaman nyata terhadap ketahanan ekonomi dan ketahanan energi nasional.
Dampak perang
Indonesia sebagai negara yang belum sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan migas nasional secara mandiri perlu mencermati dinamika konflik Israel-Iran secara saksama. Konflik ini berisiko tinggi dan berdampak secara langsung terhadap sektor energi nasional. Pertama, konflik akan mempengaruhi besaran subsidi energi yang diberikan oleh pemerintah tahun ini kepada masyarakat sebesar 203,41 triliun rupiah. Jika konflik kedua negara berlangsung secara berlarut-larut, maka pemerintah diproyeksikan akan menaikkan harga BBM atau menaikkan anggaran subsidi yang tentunya akan menguras APBN. Kedua, proyeksi pemerintah terkait penetapan harga Indonesian Crude-oil Price (ICP) dan lifting migas nasional pada 2026 yang mempengaruhi postur APBN tahun depan berpotensi mengalami revisi yang signifikan. Dalam bingkai yang lebih besar, dampak-dampak yang ditimbulkan tersebut akan berpengaruh secara keseluruhan terhadap komitmen pemerintah untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi nasional hingga 8 persen. Para pelaku usaha nasional mulai dari skala besar hingga kecil akan menjadi pihak terdampak karena kenaikan harga minyak akan meningkatkan biaya produksi, yang mana pada taraf lebih lanjut akan berimbas pada penurunan daya beli masyarakat dan PHK massal.
Pemerintah Indonesia seyogianya menjadikan momen perang antara Israel dan Iran ini sebagai momentum untuk memperkuat kemandirian energi nasional dengan meningkatkan skala dan volume produksi energi nasional. Opsi ini pada dasarnya tidak bisa ditawar-tawar karena gejolak geopolitik merupakan aspek eksternal yang tidak bisa dikondisikan dan di luar daya jangkau pemerintah. Perang antara Israel dan Iran berpotensi besar untuk tereskalasi menjadi perang kawasan mengingat Iran mengambil sikap dengan merudal pangkalan-pangkalan militer AS di negara-negara Timur Tengah sebagai respons taktis dan pilihan rasional menyikapi serangan AS ke tiga fasilitas pengayaan nuklirnya. Jika negara-negara Arab yang menjadi objek serangan AS turut terlibat dalam perang, maka sudah bisa dipastikan akan terjadi kemacetan pada rantai pasok dan rantai konektivitas migas dari Timur Tengah.
Sikap Indonesia
Pemerintah Indonesia perlu mengambil pelajaran dari kebijakan negara-negara Eropa yang terdampak perang Rusia dan Ukraina. Ketika Rusia menyetop distribusi migasnya, negara-negara Eropa yang terdampak secara langsung mengambil respons cepat dengan mengakselerasi pemenuhan kebutuhan energi domestiknya dari sumber-sumber energi baru dan terbarukan (EBT). Hal ini menjadi semacam blessing in disguise bagi masifnya penggunaan energi baru dan terbarukan di Eropa pada masa-masa mendatang. Apa yang dilakukan oleh negara-negara Eropa ini sudah seharusnya menjadi lesson learned bagi pemerintah Indonesia untuk menggenjot habis pemberdayaan sumber-sumber energi baru dan terbarukan di dalam negeri. Bauran EBT yang masih berkisar di angka 16 persen dari total bauran energi nasional perlu ditingkatkan secara progresif dan simultan bahkan sejak saat ini. Jikapun pemerintah terkendala dalam hal pembiayaan, maka momen perang Israel dan Iran ini dapat menjadi momentum untuk menggalang kerja sama kawasan di Asia Tenggara dan Global South dalam pengembangan energi baru dan terbarukan tersebut baik melalui skema investasi maupun joint collaboration secara langsung.
Perang Israel dan Iran juga seyogianya dapat membuka mata bangsa Indonesia secara lebar bahwa dibutuhkan keberanian besar untuk memanfaatkan kekayaan sumber daya alam dalam bentuk uranium bagi pengembangan energi nasional. Indonesia memiliki kapasitas yang sama dengan Iran dalam pengembangan energi nuklir mengingat Indonesia juga memiliki cadangan uranium dan thorium (uranium hijau) yang besar yang tersimpan di perut bumi Nusantara. Hanya saja Indonesia memiliki fragilitas yang lebih kecil dibandingkan dengan Iran yang dicurigai negara-negara Barat mengembangkan senjata nuklir. Namun demikian, apa yang terjadi pada Iran tidak sepatutnya menyurutkan semangat bangsa Indonesia untuk mengembangkan energi nuklir secara masif di masa yang akan datang. Kerja sama yang lebih mutualis dengan menolak praksis-praksis dependensi di level global perlu digalang sejak dini sebagai fondasi dasar dalam pengembangan energi nuklir nasional yang akan berkorelasi lurus dalam mewujudkan komitmen kemandirian energi nasional pada masa-masa yang akan datang. (*)