Menakar Rasionalitas Asing di BUMN

Oleh: Hj.Ratna Juwita Sari, S.E., M.M.
Anggota Komisi XII dan Banggar DPR RI Periode 2024–2029
Sebuah lompatan pemikiran orisinil dan inovatif kembali ditunjukkan oleh Presiden Prabowo Subianto. Dalam dialog bersama Chairman Forbes Media, Steve Forbes, di forum Forbes Global CEO Conference 2023 di St. Regis, Jakarta, pada 15 Oktober lalu, ia menyampaikan bahwa para ekspatriat atau warga negara asing dapat menjadi pemimpin di BUMN.
Wacana ini sangat menarik karena di satu sisi, dinamika ekonomi dunia menunjukkan bahwa fenomena ini sudah menjadi habituasi korporasi global. Di sisi lain, kebijakan ini perlu diperiksa kembali dari sisi konstitusi, terutama Pasal 33 Ayat (2) UUD NRI 1945 yang menekankan urgensi kepemilikan negara terhadap cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Jika kita tarik ke belakang, dalam lingkup hampir satu tahun kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, ada semacam keresahan dan kegelisahan beliau terkait tata kelola birokrasi yang belum steril dari praktik serakahnomics. Keresahan tersebut beliau tumpahkan dengan memerintahkan KPK dan Kejaksaan Agung RI untuk membongkar praktik-praktik korupsi di segala lini. Banyak nama besar yang terjerat, bahkan yang berstatus pembantunya sendiri di kabinet.
Dalam konteks BUMN, korupsi dilakukan dengan meminggirkan hajat hidup orang banyak. Pertamax dioplos, timah jadi bancakan korupsi. Para koruptor dan pembajak uang negara beliau hantam tanpa pandang bulu. Ujar-ujar yang mengatakan bahwa BUMN adalah sapi perah, objek politicking penguasa, dan dijalankan oleh orang-orang nirkompetensi, seakan menemukan relevansinya.
Dalam konteks global, Presiden Prabowo Subianto yang sejatinya juga berstatus sebagai pengusaha dan pelaku ekonomi nasional, tentu belajar banyak dari ayah dan adiknya yang sangat menguasai ekonomi, pasti sudah melakukan benchmarking terhadap perusahaan-perusahaan Top 2000 Forbes Global Companies baik dari sisi penjualan (sales), keuntungan (profits), kepemilikan (assets), serta imbal hasil (share values).
Tak perlu jauh-jauh mencari contoh di benua Biru atau negeri Amerika; negara serumpun seperti Malaysia dengan Petronas dan Singapura melalui Temasek Holdings sudah melakukan langkah serupa sejak lama. Temasek Holdings bahkan telah mempekerjakan 960 orang dari 32 kebangsaan berbeda di 13 kantornya yang tersebar di 9 negara. Strategi ini sukses menghantarkan Temasek Holdings sebagai star-quality company, teratas di level regional dan diperhitungkan di level global.
Rasionalisasi dan Kalkulasi
Globalisasi, disrupsi, dan fenomena VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, and Ambiguity) menjadi ujung pangkal mengapa definisi nasionalisme semakin meluas. Globalisasi yang masif sejak tumbangnya komunisme Soviet pada dekade 1990-an telah menciptakan deterritorialisasi — wilayah tanpa sekat dan komunikasi tanpa batas.
Disrupsi telah membuat perubahan tidak bergerak secara linier, tetapi melompat dan sulit ditebak. Baik globalisasi maupun disrupsi bahkan membuat banyak pemimpin negara dan perusahaan dunia terjebak pada demam ketidakpastian, kompleksitas tantangan, bahkan ambiguitas dalam melihat realita dan mengambil keputusan.
Hanya entitas ekonomi bisnis dengan sistem kuat, perspektif global, dan jam terbang operasional tinggi yang memiliki resiliensi terhadap fenomena-fenomena ini. Keberadaan para ekspatriat dengan ragam mazhab ekonomi yang mereka anut, basis pengalaman kuat yang teruji di negara masing-masing, dan kekayaan perspektif dalam melihat persoalan akan berkolaborasi dengan sistem kuat yang melekat pada perusahaan-perusahaan tersebut.
Keinginan Presiden Prabowo Subianto untuk memperbaiki iklim sekaligus ekosistem investasi nasional menjadi salah satu alasan terkuat mengapa kebijakan mengundang ekspatriat asing sebagai nakhoda BUMN beliau cetuskan. Ada banyak visi besar nasional yang terancam mengalami sumbatan jika tata kelola investasi tidak diperbaiki.
Munculnya pembahasan revisi UU Migas yang saat ini dibahas oleh para stakeholders di Komisi XII DPR RI misalnya, sangat kental aroma pemulihan daya tarik dan daya saing nasional. Proses perizinan akan diregulasi menjadi lebih ramping, dan manajer tata kelola hulu migas nasional akan didapuk pada satu badan khusus sebagai single point of contact.
Tak heran jika dalam konteks yang lebih besar, yakni tata kelola BUMN secara nasional, kebijakan tersebut diinisiasi. Poinnya: kehadiran ekspatriat asing dengan rekam jejak mumpuni jauh lebih menarik dibandingkan dengan mempromosikan diri sendiri dengan iklan sendiri.
Kebijakan mengundang para ekspatriat untuk bergabung dalam BUMN juga mengandung substansi geopolitik, geoekonomi, dan geodiplomasi. Dalam konteks geopolitik, kebijakan ini semakin menegaskan komitmen Indonesia untuk menjadi warga dunia yang ramah terhadap komunitas global.
Dari sisi geoekonomi, Indonesia mengayun di antara dua karang. Ketika bergabung dengan BRICS yang menjadi second opinion bagi negara-negara Utara yang serakah, Indonesia juga lentur dan gesit berupaya menjadi anggota Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), yang didominasi oleh negara-negara maju.
Dari sisi geodiplomasi, kebijakan ini mengandung kearifan lokal, yakni prinsip gethok tular atau pemasaran dari mulut ke mulut. Keberadaan ekspatriat asing di BUMN akan menjadi daya tarik personal dan korporat, bahkan membuka alur investasi asing langsung yang masif ke Indonesia.
Visi pertumbuhan ekonomi 8 persen — salah satu kontributor utamanya berasal dari sisi investasi, utamanya labor intensive — yang dapat menyerap jutaan tenaga kerja.
Keberadaan para ekspatriat asing di BUMN juga dapat menjadi sparring partner (teman berlatih) dan balancer (penyeimbang) bagi jajaran direksi atau komisaris nasional yang duduk di BUMN. Dengan duduknya ekspatriat di jajaran pimpinan, akan ada semacam alih ilmu pengetahuan, pengalaman, dan lebih berharga lagi jika ada aliran teknologi yang mereka bawa ke dalam negeri.
Pertukaran pemikiran dengan basis akademis dan empiris yang teruji secara transnasional juga dapat mengeliminasi pemerintah dari mengambil langkah salah dalam aksi korporasi yang berbahaya atau menjalankan proyek strategis nasional skala besar yang tidak didukung feasibility study yang kuat dan cost-benefit analysis yang terukur, sehingga tidak menimbulkan kisruh pembayaran utang atau proyek mangkrak.
Risiko dan Kewaspadaan Nasional
Terlepas dari banyaknya proyeksi manfaat dan keuntungan dari kebijakan ini, pemerintah perlu mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam berbisnis dan senantiasa membangun kewaspadaan nasional yang tinggi terhadap hal-hal yang mengancam kedaulatan negara dan kepentingan nasional.
Dari sisi kebijakan publik, setiap pengambilan kebijakan ekopolitik harus mampu menyandingkan antara masukan (data dan informasi), kebutuhan, serta potensi risiko dan ancaman yang menghambat. Ada beberapa hal yang dapat ditempuh pemerintah jika hendak berjalan dengan kebijakan ini:
Pertama, merujuk pada Pasal 33 Ayat (2) UUD NRI 1945, cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Pasal ini harga mati untuk melindungi kepentingan ekonomi negara dan masyarakat.
Dalam korelasinya dengan pasal ini, kebijakan pendudukan ekspatriat pada kursi direksi BUMN harus patuh dan taat pada konstitusi, perundangan, dan nilai korporasi yang berlaku. Selain itu, keberadaan ekspatriat sebaiknya dibatasi secara rasional di setiap BUMN, serta hanya menduduki posisi yang membutuhkan kompetensi berbasis riset, pengembangan, advanced technology, perluasan pangsa pasar, dan transformasi digital.
Kedua, pemilihan ekspatriat harus dilakukan melalui seleksi dan kompetensi yang ketat dengan melibatkan diskusi dan para pemangku kepentingan kebijakan terlebih dahulu. Keberadaan ekspatriat tersebut tidak hanya berdampak restriktif di lingkup BUMN itu saja, tetapi juga berpengaruh signifikan terhadap ekosistem bisnis dalam kerangka pentahelix system.
Ketiga, tidak semua BUMN harus open recruitment terhadap ekspatriat. Pemerintah perlu membuat skala prioritas dan skema pareto terhadap BUMN mana yang memiliki kebutuhan tinggi untuk pembenahan, serta BUMN mana yang membutuhkan injeksi tenaga dan pemikiran agar lebih kontributif terhadap dividen negara.
Sebagai contoh, KAI yang saat ini terbelit utang proyek kereta cepat Jakarta–Bandung bisa menempuh opsi ini dengan mengundang eksekutif perusahaan transportasi Tiongkok untuk duduk di jajaran pimpinan, sehingga ada potensi restrukturisasi utang, bunga, dan tenor yang lebih bersahabat.
Keempat, kesempatan rekrutmen pimpinan BUMN dari kalangan ekspatriat juga selayaknya ditujukan kepada para diaspora Indonesia yang berkarier tinggi di luar negeri. Banyak diaspora Indonesia yang sudah duduk di kelas manajerial perusahaan besar di berbagai bidang seperti manufaktur, kesehatan, teknologi robotika, kecerdasan buatan, serta pendidikan. Mereka layak digugah nasionalismenya dan diundang kembali ke tanah air karena negara hadir dan memfasilitasi hidup layak bagi mereka.
Terakhir, dalam kerangka menjaga kedaulatan negara dan kepentingan nasional, peran komunitas intelijen negara yang dimotori oleh Badan Intelijen Negara (BIN), serta lembaga koordinatifnya seperti BAIS TNI dan PPATK selaku Financial Intelligent Unit (FIU) wajib difungsikan sejak awal untuk melakukan profiling terhadap para ekspatriat yang bertugas.
Tak dimungkiri bahwa selalu ada risiko dan celah rahasia negara yang dapat bocor apabila figur-figur ekspatriat tersebut tidak steril atau bahkan terjebak konflik kepentingan. Catatan John C. Perkins dalam bukunya Confessions of an Economic Hitman dapat menjadi cermin reflektif adanya peran bandit-bandit ekonomi dalam merusak sistem ekonomi negara berkembang.
Besar harapan kita bahwa inovasi kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah dalam tata kelola BUMN ke depan senantiasa diiringi dengan kehati-hatian, berpijak pada konstitusi, dan prinsip kewaspadaan nasional.