Refleksi 80 Tahun Kemerdekaan RI: Jalan Panjang Menjadi Indonesia

Oleh: Dr. K.H. Jazilul Fawaid, S.Q., M.A., Ketua Fraksi PKB DPR RI Periode 2024-2029/ Wakil Ketua Umum PKB
Pada 17 Agustus 2025 ini kita segenap bangsa Indonesia memperingati 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Pertanyaan mendasar yang selalu saya ajukan di setiap peringatan kemerdekaan adalah, sudahkah kita menjadi Indonesia? Jika merujuk pada Konvensi Montevideo 1933 tentang definisi suatu negara, jawabannya adalah betul kita sudah menjadi sebuah negara. Kita sudah memenuhi unsur sebagai sebuah negara, yakni ada penduduk, wilayah, pemerintah, dan pengakuan kedaulatan dari negara lain. Namun, apakah kita sudah menjadi Indonesia, jawabannya bersifat kompleks, penuh perdebatan, menuntut pemahaman akan akar historis dan kontekstualitas hari ini, dikarenakan menjadi Indonesia sebagai sebuah entitas sosial politik dan budaya bukanlah perkara mudah!
Tantangan yang kita hadapi untuk menjadi Indonesia jauh lebih sulit ketika proklamasi kemerdekaan sudah dikumandangkan oleh Dwitunggal Soekarno-Hatta 80 tahun silam. Dalam bahasa lainnya, menjadi Indonesia pada saat pra-kemerdekaan atau revolusi fisik adalah perkara yang lebih mudah, lebih realistis, dan memiliki peta yang jelas untuk diwujudkan. Pada saat perjuangan melawan penjajah, baik itu Belanda, Jepang, atau Sekutu, orientasi bangsa Indonesia sangat jelas, yakni lepas dari kolonialisme dan imperialisme yang menghancurkan martabat bangsa. Perjuangan fisik melawan kaum kolonial dan imperial dibuhul oleh spirit yang sama, yakni perasaan senasib sepenanggungan (sense of belonging) dan keinginan untuk hidup bersama (living together). Inilah yang melahirkan nasionalisme Indonesia.
Sejarah perjuangan
Nun jauh sebelum proklamasi kemerdekaan, nasionalisme Indonesia dibangun oleh keringat, air mata, dan darah para pejuang yang senantiasa merumuskan model perjuangan terbaik dan paling efektif untuk menembus panji-panji kemerdekaan. Pengalaman sejarah yang ditempuh oleh para pejuang di seluruh wilayah nusantara mengajarkan bahwa kemerdekaan sangat sulit dicapai apabila dilakukan secara fragmentatif dan primordial. Kemerdekaan membutuhkan upaya kolektif dan terstruktur. Inilah yang mengilhami lahirnya organisasi Budi Utomo pada 1908 sebagai pemantik munculnya gerakan organisatoris lainnya. Perjuangan makin bergema ketika para pemuda sepakat untuk mengikrarkan diri dalam Sumpah Pemuda pada 1928.
Dua nilai penting yang terkandung dalam perjuangan kemerdekaan pada masa revolusi fisik, yakni gotong royong dan nasionalisme tersebut menghadapi batu uji yang keras ketika kemerdekaan sudah diproklamirkan. Indonesia yang masih sangat muda diuji oleh gerakan-gerakan separatis yang hendak memisahkan diri dari republik. Gerakan-gerakan pemberontak tersebut muncul karena adanya ketidakpuasan dalam hal politik dan ekonomi kekuasaan ketika Indonesia sudah berstatus sebagai negara merdeka. Yang lebih kompleks adalah ketika Indonesia yang masih seumur jagung harus menghadapi hantaman geopolitik global, yang mana dunia saat itu dibelah oleh kekuatan dunia menjadi dua poros, yakni Amerika Serikat dan Uni soviet. Pertarungan di antara dua kekuatan dunia tersebut mencapai kulminasinya ketika meletus pemberontakan PKI pada 1965 yang tidak hanya merubah aras politik dan pemerintahan Indonesia setelahnya, tapi juga menjadi luka sejarah yang tak kunjung kering di badan republik hingga hari ini.
Pada masa orde baru, upaya untuk menjadi Indonesia seutuhnya juga berlangsung tidak mudah, bahkan penuh liku jika dibandingkan dengan masa awal kemerdekaan. Komitmen Indonesia untuk menjadi res dan publica (baca; republik) menjadi kontraproduktif ketika kekuasaan dijalankan tanpa batasan. Prinsip Trias Politika sebagai jangkar kedaulatan rakyat menjadi kabur karena tirani kekuasaan yang menguntungkan diri sendiri dan kelompok. Korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi wabah yang meminggirkan rakyat sebagai pemilik negara. Pembangunan nasional berjalan semu karena dibangun atas dasar hutang yang menumpulkan kemampuan bangsa untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam sendiri bagi kemajuan dan kemandirian nasional.
Ambivalensi reformasi
Ketika reformasi meletus pada era 1998 yang menandai munculnya sebuah periode baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni orde reformasi, harapan rakyat membuncah akan hadirnya sebuah sistem politik yang memuliakan daulat rakyat, sistem sosial yang inklusif berdasarkan Pancasila, sistem ekonomi yang menyejahterakan masyarakat kecil. Indikatornya sangat jelas, yakni kebijakan-kebijakan reformis melalui amandemen konstitusi secara berjenjang sejak 1999 hingga 2002. Mahkamah Konstitusi (MK) hadir untuk memperkuat pilar hukum dalam menegakkan konstitusi. Komisi Yudisial (KY) lahir untuk menjaga muruah para hakim sebagai malaikat keadilan. KPK ditelurkan untuk memberantas wabah yang berurat berakar selama tiga dekade lamanya, yakni korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sistem Pemilu sebagai instrumen utama demokrasi diperbaiki dengan merombak Pemilu Presiden (Pilpres) dari bersifat representatif oleh MPR RI menjadi langsung dengan rakyat sebagai voters di bilik suara.
Sekali lagi, menjadi Indonesia tidak mudah. Ia menjadi jalan panjang yang belum tentu terlihat ujungnya ketika komitmen segenap anak bangsa belum utuh dan padu. Inisiasi demokrasi yang dimulai ketika 1998 dan berlanjut pada instalasi demokrasi sepanjang 1999 hingga 2004 melalui amandemen konstitusi tak serta merta menjadikan bangsa ini sebagai Indonesia seutuhnya. Pemilu yang digelar secara langsung pada aras kepala daerah sebagai derivatif dari Pilpres tidak serta-merta menjadikan daerah maju pesat dalam pembangunan nasional. Banyak kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat melalui Pilkada justru terjebak operasi tangkap tangan KPK. Salah satu penyebabnya adalah sistem Pemilu langsung yang berbiaya tinggi yang menyebabkan kandidat terpilih terjebak pada kultus harus balik modal ketika berkuasa. Pemilu langsung juga melahirkan problematika sosial ketika terjadi polarisasi yang tajam, membludaknya hoaks dan ujaran kebencian di masyarakat ketika menyikapi dua pasang calon saja di kertas suara.
Di era reformasi dan pasca reformasi, persoalan bangsa menjadi lebih kompleks. Pertumbuhan ekonomi yang bergerak positif selalu dibayangi oleh tantangan pemerataan ekonomi yang belum diwujudkan secara paripurna. Penegakan hukum yang berkeadilan juga masih dihadapkan pada belum terbangunnya kesadaran hukum yang kuat sebagai fondasi dasar terwujudnya masyarakat hukum yang tangguh. Mantra Bhinneka Tunggal Ika Tan Hanna Dharma Mangrva juga seakan tawar ketika sekat-sekat primordialisme dan nasionalisme sempit masih hidup dalam kognitif sebagian masyarakat Indonesia. Aspek geografis yang strategis yang potensial melambungkan daya saing dan keuntungan finansial bagi Indonesia justru menjadi batu sandungan yang terjal yang mewujud dalam bentuk maraknya kejahatan transnasional di wilayah perairan nasional, konflik perbatasan dengan negara sahabat, hingga belum optimalnya pemanfaatan sumber daya di dalamnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.
Menjadi Indonesia
Tesis berfikir yang saya bagun ini selaras dengan apa yang disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto dalam Sidang Tahunan MPR RI kemarin. Kekhawatiran tentang betapa sulitnya menjadi Indonesia secara utuh tercermin dari kekhawatiran beliau mengenai masih banyaknya tambang yang dikuasai oleh segelintir elit negara (baca; oknum) untuk kepentingan diri sendiri. Ada 1.063 tambang ilegal yang disinyalir dibekingi oleh jenderal aktif dan pensiunan jenderal TNI/Polri. Jika pernyataan ini benar adanya, tentulah ini pukulan keras bagi rakyat yang saat ini berjuang untuk mencari sesuap nasi demi memenuhi kebutuhan keluarga. Adalah benar nubuat Presiden Soekarno di masa awal kemerdekaan, “perjuangan yang paling sulit bukanlah melawan asing, tapi melawan bangsamu sendiri”. Presiden Prabowo juga mendedahkan problematika kebangsaan lainnya, yang mana dewasa ini muncul aktor-aktor politik yang hendak meminggirkan pemikiran para pendiri bangsa dengan menyebut pemikiran pendiri bangsa telah usang dan tidak memiliki relevansi dengan zaman.
Menjadi Indonesia adalah sebuah jalan panjang. Persoalannya bukanlah terletak pada konturnya yang lurus atau berliku, halus atau terjal. Persoalannya terletak pada ujung jalan mana yang kita tetapkan sebagai titik yang kita tuju. Menjadi Indonesia secara utuh suka tidak suka menuntut kita untuk melihat kembali hal-hal sakral yang menjadi fondasi dasar lahirnya Indonesia, yakni konsensus dasar kebangsaan, utamanya Pancasila sebagai dasar negara dan UUD NRI 1945 sebagai konstitusi dan sumber dari segala hukum positif yang berlaku secara nasional. Apa yang dilakukan oleh rezim Presiden Prabowo Subianto hari ini perlu kita apreasiasi. Ada ikhtiar yang kuat untuk menghidupkan kembali pemikiran para pendiri bangsa dalam setiap kebijakan yang diambil. Ada upaya yang keras untuk membersihkan tubuh republik dari anasir perilaku koruptif segelintir oknum yang mementingkan diri sendiri dan kelompok. Ada komitmen kuat untuk mendudukkan kembali bangsa dan negara ini sejajar dengan kekuatan dunia melalui diplomasi aktif dan inovatif di kancah global. Semoga seluruh proses berkhidmat yang dilakukan mampu membawa bangsa ini menuju Orde Transformasi menjadi Indonesia seutuhnya. Dirgahayu Republik Indonesia yang ke-80, bersatu berdaulat, rakyat sejahtera, Indonesia maju.