Sadumuk Bathuk Sanyari Bumi Ditohi Pati

Oleh: Dr. K.H. Jazilul Fawaid, S.Q., M.A., Ketua Fraksi PKB DPR RI Periode 2024-2029
Sadumuk bathuk sanyari bumi ditohi Pati adalah falsafah Jawa yang sangat populer di era revolusi fisik melawan penjajahan Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) dan Jepang. Secara umum falsafah ini bermakna bahwa setiap jengkal wilayah negeri harus dipertahankan sampai mati. Di dalamnya terkandung keberanian, harga diri, dan kegigihan untuk menjaga kedaulatan bahkan sampai titik darah penghabisan. Dewasa ini, falsafah ini memiliki relevansi untuk digaungkan kembali. Bahkan, kontekstualisasinya dapat meluas jika menilik besar dan luasnya spektrum ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan (AGHT) yang mengancam kepentingan nasional, kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI saat ini.
Pemerintah Indonesia di bawah rezim Presiden Prabowo Subianto berkomitmen untuk membawa Indonesia menjadi negara yang kuat dan maju, menjadi negara kunci di level regional, serta menjadi pemain penting dalam geopolitik dan geoekonomi global. Hal ini tercermin dari berbagai kebijakan yang ditempuh seperti visi swasembada pangan, swasembada energi, hilirisasi tambang, hingga keputusan untuk bergabung dalam blok kerja sama ekonomi alternatif bersama-sama negara-negara Selatan Global, yakni BRICS. Dari sisi legislasi, pemerintah bersama DPR RI juga sedang membahas regulasi-regulasi strategis seperti RUU Pengelolaan Ruang Udara Nasional, RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), RUU Energi Baru dan Terbarukan (EBT), RUU Pengelolaan Perubahan Iklim, dan rancangan regulasi-regulasi strategis lainnya.
Dalam dinamikanya, kebijakan-kebijakan strategis yang dicanangkan oleh pemerintah tersebut tidak selalu berjalan mulus. Selalu ada AGHT yang potensial menghambat proses dan objektif yang hendak dicapai. AGHT ini tidak selalu berasal dari lingkup eksternal, tapi juga berasal dari lingkup internal Indonesia sendiri. AGHT ini tidak selalu berwujud dan mudah dikenali, tapi bersifat asimetris yang membutuhkan ketelitian dan kecermatan untuk meresponsnya. Sebagai ketua fraksi dari partai yang menjadi pendukung pemerintah, saya berpandangan bahwa dibutuhkan pendekatan kewaspadaan nasional yang komprehensif untuk memastikan bahwa setiap kebijakan yang didukung partai dapat berjalan lancar dengan memitigasi segala AGHT yang potensial menjadi penghambat.
Persoalan pangan dan energi
Pertama, kebijakan swasembada pangan dan energi. Secara teoretis, kedua kebijakan tersebut sangat mudah untuk direalisasikan. Indonesia memiliki modal dasar yang kuat untuk mewujudkannya karena berstatus sebagai negara agraris dan maritim. Sumber daya pertanian dan kelautan begitu melimpah untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Demikian pula halnya dari sisi energi. Indonesia adalah negara terdepan dalam hal kepemilikan mineral kritis dalam bentuk nikel, kobalt, dan tembaga yang dapat menempatkannya sebagai aktor penting dalam geopolitik dan geokonomi global. Indonesia juga memiliki potensi EBT yang melimpah dalam bentuk panas bumi, tenaga surya, gelombang angin, biodiesel, uranium, dan thorium yang dapat mendudukkan Indonesia sebagai pemimpin negara-negara dunia dalam transisi energi global.
Namun demikian, asumsi teoretis tersebut tidak selalu berkorelasi lurus dengan implementasinya. Komitmen mewujudkan swasembada pangan dibayangi oleh ancaman keamanan pangan. Temuan dari Satgas Pangan Polri dan Kementan RI terkait masifnya praktik pengoplosan beras premium oleh pelaku usaha menunjukkan masih buruknya tata kelola pangan nasional di sektor hilir. Persoalan ini sejatinya merupakan hal yang jauh lebih mudah ditangani ketimbang turbulensi pangan yang disebabkan oleh gangguan rantai pasok dan rantai konektivitas global akibat kebijakan proteksionis negara-negara produsen, atau bahkan ancaman perubahan iklim yang lebih sulit untuk dikendalikan karena membutuhkan sinergi dan kolaborasi dengan kekuatan global.
Ancaman terhadap komitmen swasembada energi bahkan lebih eksplisit. Hilirisasi nikel telah mengonversi pola ekspor Indonesia menjadi skema yang lebih menguntungkan secara finansial dan meningkatkan daya saing. Ekspor bijih nikel yang cenderung menggadaikan sumber daya alam diganti menjadi ekspor ferronikel yang sebelumnya melalui proses pemurnian di smelter. Ekspor olahan dalam bentuk ferronikel terbukti menaikkan pendapatan negara hingga 6,76 kali lipat. Apabila produk nikel diolah dalam bentuk Mix Hydro Precipitate (MHP), maka harganya akan lebih meningkat hingga 121 kali lipat. Upaya Indonesia untuk membangun kemandirian energi ini memang menguntungkan secara nasional, tapi memantik resistensi di level global. Uni Eropa sebagai representasi blok negara-negara Utara menganggap Indonesia melanggar komitmen perdagangan bebas. Melalui instrumen WTO, Uni Eropa selalu berupaya untuk mengganjal hilirisasi sebagai kebijakan strategis pemerintah menuju swasembada energi.
BRICS dan Hegemoni AS
Kedua, adanya kebijakan dari pemerintah AS di bawah rezim Donald Trump yang menerapkan kebijakan tarif resiprokal terhadap Indonesia. Perkembangan terbaru, pemerintah AS menyetujui pemangkasan tarif impor atas produk-produk Indonesia dari 32 persen menjadi 19 persen. Kebijakan ini tidak an sich soal pemangkasan saja, tapi di dalamnya juga mengandung kesepakatan-kesepakatan lainnya yang potensial menimbulkan risiko dan ancaman terhadap kedaulatan nasional. Seturut pemangkasan tarif, Indonesia dikenai kewajiban untuk melakukan penghapusan pembatasan ekspor komoditas industri ke AS, penghapusan penerapan pajak atas aliran data lintas batas, serta penghapusan inspeksi atau verifikasi pra-pengiriman untuk barang impor AS. Indonesia juga diminta untuk menerima standard keselamatan kendaraan bermotor AS.
Kebijakan AS yang berdimensi unilateral dan realis ini perlu dicermati oleh pemerintah Indonesia. Upaya AS untuk merekonstruksi sistem internasional dari multipolar menjadi unipolar dengan menggunakan instrumen tarif sebagai senjata geoekonomi perlu sangat diwaspadai. Sejarah hubungan antarnegara selalu menunjukkan fakta bahwa unipolaritas hanya menghasilkan hegemoni yang berdampak pada ketidakdilan ekonomi politik global. Indonesia sejatinya sudah memiliki opsi untuk keluar dari dependensi global yang diciptakan oleh AS. Kerja sama dalam BRICS merupakan alternatif kerja sama yang bersifat lebih mutualis dan memperkuat independensi masing-masing. Melalui kerja sama yang solid dengan negara-negara anggota, Indonesia perlahan tapi pasti dapat membangun ketahanan pangan, ketahanan energi, dan transformasi ekonomi digital secara berkelanjutan di masa yang akan datang. Sebagai sesama negara berkembang dengan atribut nasional yang relatif sama dari sisi agraria, kemaritiman, dan sumber daya alam, kerja sama BRICS jauh lebih menguntungkan ketimbang berlarut dalam dependensi dan dikte yang diciptakan oleh negara-negara Utara.
Wilayah nasional
Ketiga, terkait kebijakan pemerintah dalam hal pengelolaan wilayah kedaulatan nasional. Tidak seperti wilayah darat dan laut yang sudah memiliki pengaturan dan payung hukum, wilayah udara nasional Indonesia belum memiliki pengaturan yang komprehensif. Padahal, baik darat, laut, maupun udara merupakan satu kesatuan integral yang tidak dapat dipisahkan. Ketiadaan pengaturan ini berdampak terhadap keselamatan penerbangan, serta kedaulatan nasional. Sebagai gambaran, ada banyak ratusan air street di wilayah timur Indonesia yang belum dikelola oleh pemerintah, sehingga banyak dilalui oleh penerbangan perintis yang tidak bisa diawasi secara komprehensif. Di wilayah udara bagian barat Indonesia, seringkali terjadi pelanggaran wilayah udara Indonesia di eks-Military Training Area 2 dan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) oleh pesawat militer asing. Pelanggaran-pelanggaran ini sulit ditindak karena belum ada regulasi dan kewenangan yang mengatur secara rinci baik mengenai batas-batas ruang udara secara vertikal dan horizontal, prosedur pemeriksaan dan penyidikan terhadap tindak pidana pelanggaran, maupun sanksi pidana yang akan dikenakan.
Jika kita melihat lebih dalam kepada wilayah laut dan darat, meskipun sudah ada pengaturan, AGHT yang ada juga bersifat kompleks dan membutuhkan penanganan serius. Keberadaan regulasi berupa UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan yang mengatur tentang kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia atas wilayah lautnya menjadi tidak optimal fungsinya apabila tidak diiringi dengan penegakan hukum yang solid. Laut Natuna Utara yang merupakan ZEE Indonesia misalnya, setiap tahun menjadi zona yang dilanggar oleh kapal-kapal nelayan dan penjaga pantai Tiongkok. ALKI Indonesia yang umumnya digunakan untuk jalur perdagangan internasional masih belum steril dari kejahatan transnasional seperti perompakan dan jalur perdagangan manusia. Setali tiga uang dengan wilayah laut, wilayah darat juga memiliki kerentanan karena belum optimalnya penegakan hukum. Konflik antara Indonesia dan Malaysia di Pulau Sebatik misalnya, berpotensi menjadi kasus yang serupa dengan Sipadan dan Ligitan yang jatuh ke tangan Malaysia. Problematikanya adalah belum optimalnya penegakan hukum, serta pendekatan sosiologis kultural yang dilakukan oleh pemerintah untuk memperkokoh nasionalisme.
Kewaspadaan nasional
Masih banyak lagi kebijakan-kebijakan pemerintah yang perlu dicermati, beserta segala potensi AGHT yang membayangi. Oleh sebab itu, dibutuhkan kritisisme berfikir dan bersikap dari seluruh elemen-elemen bangsa agar apa yang kita canangkan bersama dalam bentuk kebijakan dan regulasi bisa berjalan dengan mulus dan mencapai objektifnya. Oleh sebab itu, sudah semestinya kita mengedepankan pendekatan kewaspadaan nasional, yakni sikap mawas diri terhadap segala potensi AGHT yang ada, serta merumuskan kebijakan secara cermat dan terukur untuk mengatasinya agar memberikan kemaslahatan bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Kita semua berkeyakinan bahwa bangsa ini dapat keluar menjadi pemenang, muncul menjadi aktor negara yang kuat dalam segala dimensi, baik dalam sekup regional maupun global. Sadumuk bathuk sanyari bumi ditohi pati, kita lindungi kepentingan nasional, kedaulatan, dan keutuhan wilayah negara dengan segenap jiwa raga kita. (*)